Publikbicara.com – Zakat fitrah, kewajiban yang mengalir dalam gemuruh Ramadhan, menjadi ritus suci bagi umat Islam.
Namun, di antara pergolakan pendapat ulama, terdapat pertanyaan menggelitik: Apakah lebih memikat, menyampaikan zakat melalui perantara amil atau melangkah langsung ke pelukan mustahiq?
Seolah melintasi jalan berliku sejarah, Ustadz Abdul Somad menyingkap kisah zaman Nabi, di mana zakat fitrah mengalir langsung ke tangan yang membutuhkan, tanpa belitan amil.
Namun, dunia modern memunculkan konundrum baru, di mana keadilan dipertaruhkan oleh jaring kenalan.
Gus Baha, dengan sudut pandang yang tak kalah berwarna, menghadirkan narasi kisah personal, di mana setitik zakat dapat menyalakan kilauan harapan bagi kerabat tercinta.
Namun, dalam pangkal kekayaan moral, beliau menyerahkan ruang bagi keberagaman pendapat, dengan senyum bijak menyiratkan bahwa hakikat zakat tak terkekang dalam belitan aturan matematis.
Dalam dilema merangkai kebaikan, sungguh, antara jalan yang diambil seseorang dan keteduhan hati yang diharapkan, terletak keanggunan tari etika zakat fitrah.
Dalam sorotan pandangan yang berkilauan, pandangan UAS dan Gus Baha membentuk dua lentera, menerangi jalan bagi muzakki yang mencari pelita paling terang.
Dalam kerumunan pendapat, hanya Allah yang Maha Mengetahui.
