Beranda Nasional Kasus Positif Covid-19 Masih Naik, PPKM Dinilai Tak Efektif

Kasus Positif Covid-19 Masih Naik, PPKM Dinilai Tak Efektif

JAKARTA – Presiden Joko Widodo pada Minggu (31/5) menyatakan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Pulau Jawa dan Bali untuk menekan penyebaran Covid-19 tidak efektif. Presiden menyebut, indikator ketidakefektifan itu terlihat dari mobilitas masyarakat yang masih tinggi sehingga di beberapa provinsi kasus positif Covid-19 tetap naik. Tercatat, sejak pertama kali diberlakukan pada 11 Januari lalu, jumlah kasus positif di Indonesia mencapai 1.078.314 kasus (data per 31 Januari 2021). Dari jumlah tersebut, sebanyak 873.221 dinyatakan sembuh, dan 29.998 meninggal dunia.

Kebijakan PPKM telah berlangsung dua jilid. PPKM jilid pertama dilangsungkan pada 11 hingga 25 Januari 2021. Sementara, jilid kedua dilaksanakan mulai 26 Januari hingga 8 Februari. Alih-laih berkurang, kasus positif Covid-19 justru melambung. Selama Januari 2021, penambahan kasus harian sudah lima kali pecah rekor.

PPKM sendiri merupakan kebijakan baru pemerintah di masa pandemi setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Berbeda dengan PSBB yang melibatkan sejumlah kota-kota besar di luar Jawa dan Bali, PPKM hanya akan dilaksanakan di sejumlah daerah di Jawa dan Bali dengan kebijakan pembatasan yang lebih longgar. Pada kebijakan PSBB, kepala daerah mengusulkan pembatasan aktivitas masyarakat kepada Menteri Kesehatan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Sedangkan pada PPKM, pembatasan ditentukan oleh kepala daerah.

Komunikasi Publik

Komunikasi publik pemerintah selama pandemi lebih banyak memunculkan istilah ketimbang memberikan informasi risiko yang substansial untuk pencegahan pandemi. Mulai dari PSBB, PPKM, 3M, 3T, dan jangan lupa menyebut AKB alias Adaptasi Kebiasaan Baru. AKB merupakan istilah yang digunakan untuk pemerintah untuk menggantikan new normal atau kenormalan baru yang dianggap salah kaprah oleh pemerintah sendiri.

Meski memiliki Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah memutuskan untuk menjalankan kebijakan PSBB dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019.

Baca Juga :  Dede Yusuf dan Bey Machmudin Dikabarkan Menolak Tawaran Partai Demokrat Untuk Maju di Pilgub Jabar

Cornelis Lay dalam New Normal: Pergeseran Relasi Kekuasaan, Konsolidasi, dan Kesenjangan (2020) menyebutkan penggunaan istilah PSBB sebetulnya merupakan bentuk kompromi pemerintah terhadap dua rezim pengaturan mobilitas masyarakat yang sedang berkompetisi. Rezim pertama menekankan pengetatan serta pengendalian pergerakan manusia melalui argumen keselamatan dan kesehatan masyarakat. Sedangkan rezim kedua menekankan pada kebebasan mobilitas warga sebagai argumen tandingan rezim pertama, dengan argumen keselamatan ekonomi dan kemakmuran.

Peter Berger dan Thomas Luckman dalam The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (1991) menyebutkan peran signifikan penggunaan bahasa sebagai faktor penting dalam memahami dan menafsirkan realitas kehidupan sehari-hari. Penafsiran atas realitas ini tidak sekadar berada di tataran kemampuan berpikir seseorang, tapi juga mencakup ranah sosial yang kemudian memunculkan praktik-praktik wacana sebagai situasi sosial yang melatarbelakangi bagaimana bahasa dan istilah-istilah di dalamnya dibentuk dan dimaknai.

Pembentukan dan pemaknaan bahasa ini erat kaitannya dengan tarik menarik kepentingan. Norman Fairclough dalam Discourse and Social Change (1992) melihat bahasa sebagai sebuah mekanisme kesepakatan sosial yang dipengaruh struktur hubungan kekuasaan di masyarakat. Mekanisme ini kemudian membentuk proses kontrol sosial yang menentukan pembentukan hingga pemaknaan bahasa oleh pihak yang mendominasi alat-alat produksi. Alat-alat produksi ini tidak semata diartikan secara harfiah untuk kegiatan manufaktur barang, namun juga aspek-aspek yang sifatnya intangible seperti produksi informasi dan pengetahuan.

Implikasi Sosial

Pemilihan istilah-istilah oleh pemerintah sebagai pihak yang punya otoritas untuk melakukan kontrol terhadap masyarakat ini harus dilihat memiliki implikasi sosial. Beragam istilah tadi tidak semata-mata berdiri dalam ruang hampa tanpa ada nilai atau kepentingan tertentu. Dalam pandemi Covid-19 ini, persoalan ini seharusnya ditempatkan pada sejauh mana negara memenuhi hak-hak sipil warga negara sesuai yang diamanatkan dalam konstitusi.

Baca Juga :  Remaja di Bulukumba Diduga Dianiaya Polisi, Dipaksa Mengaku Sebagai Kurir Narkoba

Beragam istilah yang dikeluarkan akhirnya menjadikan ada banyak penafsiran tentang regulasi yang dikeluarkan pemerintah selama pandemi. Situasi ini akhirnya mempengaruhi pemahaman dan tindakan-tindakan di level individu sampai penentuan kebijakan di level publik. Satu sisi masyarakat diminta untuk mematuhi regulasi demi regulasi, namun di lain sisi pemerintah justru menunjukkan sikap-sikap tidak konsisten dalam menjalankan kebijakan yang dikeluarkannya sendiri.

Dalam situasi bencana hal-hal seperti ini menjadikan masyarakat tidak percaya pada komunikasi yang dilakukan pemerintah yang kemudian menimbulkan persepsi bahwa pemerintah tidak mampu mengatasi situasi. Michael Walzer dalam The Obligation to Disobey (1967) menyebut, ketidakpercayaan menimbulkan konflik yang kemudian membuat masyarakat memiliki “kewenangan” untuk tidak patuh saat hak dan kewajiban yang diterapkan untuk masyarakat mengalami konflik dengan wewenang yang dimiliki negara. Hal ini setidaknya terlihat dari jumlah pelanggaran protokol kesehatan.

Satuan Tugas Penanganan COVID-19 menyebutkan, selama Operasi Yustisi Penerapan Protokol Kesehatan di seluruh Indonesia, Polri telah menindak 5,7 juta pelanggar protokol kesehatan. Kenyataan tersebut menunjukkan aspek pemahaman terhadap risiko Covid-19 masih jadi pekerjaan rumah. Padahal pemahaman ini memegang peranan penting dalam komunikasi bencana. Zhu dan Yao dalam Public Risk Perception and Intention to Take Actions (2019) mengungkapkan, pemahaman tentang tingkat keparahan, potensi dampak, dan kemampuan individu dalam menghadapi risiko dapat menentukan tindakan seseorang dalam menghadapi risiko tersebut.

Persoalannya, apakah selama hampir setahun ini kita semua sudah paham tentang risiko tersebut?

Sumber :Detik

Artikulli paraprakModus Baru, Tipu Pengguna Via DM Instagram
Artikulli tjetërRekrut Bagus Kahfi, Akun FC Utrech Banjir Like Dan Komen