Beranda News Pasokan Minyak Goreng Semakin Langka dan Harus Membayar Mahal

Pasokan Minyak Goreng Semakin Langka dan Harus Membayar Mahal

Jakarta,Publikbicara.com – Ironi negara penghasil sawit terbesar di dunia, masyarakat Indonesia justru harus membayar mahal harga minyak goreng. Belum lagi, pasokannya yang susah-susah gampang. Susah, karena harga wajar bisa diperoleh jika tersedia operasi pasar. Gampang, hanya bila masyarakat mau merogoh kocek lebih dalam.

 

Ambil contoh, warga Rejang Lebong, Bengkulu, yang harus membayar Rp40 ribu per liter untuk membeli minyak goreng. Yanti (30), warga setempat, menyebut walaupun mahal, tetap saja ada yang beli karena memang tak ada lagi yang menjual. Ya, selain harganya mahal, pasokan minyak goreng langka.

 

Kenaikan harga minyak goreng terjadi sejak November 2021. Pemerintah baru menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sejak 1 Februari 2022 lalu sesuai Permendag Nomor 6 Tahun 2022, yakni Rp11.500 per liter untuk minyak goreng curah, Rp13.500 untuk minyak goreng kemasan sederhana, serta Rp14 ribu untuk minyak goreng premium.

 

Faktanya, harga patokan pemerintah bisa didapat jika warga rela mengantre dalam operasi pasar yang digelar oleh pemda, Kemendag, distributor, polisi, hingga partai politik (parpol). Itu pun, ada sejumlah ketentuan yang diwajibkan, seperti mencelup jari ke tinta persis, seperti sedang pemilu, hingga menunjukkan kartu keluarga dan bukti vaksin.

 

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurman menyebut beragam syarat pembelian minyak goreng sebagai upaya kreatif pelaku usaha meratakan distribusi minyak goreng agar tidak diserbu habis. “Pedagang melakukan kreativitasnya sendiri dalam rangka pemerataan. Nggak masalah bagi saya,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (21/2) lalu.

 

Tak sampai disitu, Oke malah menyiratkan keheranannya. Menurut dia, seharusnya pasokan minyak goreng banjir. “Saya lagi meneliti kenapa ini harusnya banjir minyak goreng, malah gak banjir. Ini sedang saya susuri, saya sudah menggelontorkan enam hari ini 115 juta liter kok masih langka juga,” katanya saat itu.

 

Dilalah, kasus penimbunan malah marak. Satgas Pangan di sejumlah daerah, baik di Sumatera Utara maupun di Sulawesi Tengah, menemukan penimbunan puluhan ribu liter minyak goreng oleh distributor. Tak cuma itu, anggota DPRD di Serang, Banten, juga menemukan toko ritel menyimpan stok minyak goreng di gudang.

 

Padahal, ramadan sebentar lagi menyapa, berlanjut ke lebaran, di mana tren harga-harga pangan hampir pasti naik jelang hari raya. Kenaikan harga pada hari raya umumnya terjadi karena demand atau permintaan yang tinggi. Sialnya, pasokan saat ini sedang langka-langkanya.

Baca Juga :  Membuka Lembaran Kisah Jaro Ade: Dari Desa ke Puncak Kepemimpinan Politik di Kabupaten Bogor

 

YLKI mengingatkan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi untuk segera menyelesaikan masalah minyak goreng sebelum ramadan dan lebaran. Jika tidak segera ditangani, YLKI khawatir harga minyak goreng akan terus meroket.

 

Menurut Peneliti Indef Rusli Abdullah, pemerintah seharusnya menargetkan produksi dan distribusi minyak goreng curah. Bukan cuma fokus ke minyak goreng kemasan. “Masalahnya sebagian besar masyarakat konsumsi minyak goreng curah, bukan kemasan,” tuturnya, Senin (7/3).

 

Sebagai informasi, kebutuhan minyak goreng pada tahun ini diperkirakan mencapai 5,7 juta liter. Kebutuhan tersebut terdiri atas 2,4 juta liter minyak goreng curah rumah tangga, 1,8 juta liter minyak goreng curah industri, 1,2 juta liter minyak goreng premium, serta 231 ribu minyak goreng kemasan sederhana.

 

Dengan begitu, pemerintah seharusnya bisa memberikan fokus lebih agar produksi minyak goreng curah yang banyak dibutuhkan masyarakat dapat diprioritaskan.

 

Lebih luas, Rusli menilai apabila pemerintah tidak menyelesaikan masalah harga bahan pokok dan pangan lainnya, maka masyarakat akan terimbas 3 hal sekaligus. Ini terjadi lantaran saat ini harga bahan pokok lainnya, seperti kedelai, cabai merah, hingga daging sapi, juga naik signifikan.

 

“Saya melihat akan ada tiga pukulan untuk masyarakat terkait komoditas pangan. Pertama, menjelang ramadan dan lebaran harga pangan akan naik, itu siklus yang berulang terus setiap tahun,” jelasnya.

 

Kedua, masyarakat akan dibebani dengan harga pangan yang tidak pasti akibat pandemi covid-19. Pasalnya, tahun ini aktivitas masyarakat semakin tinggi dan permintaan akan bahan pangan untuk industri juga akan meningkat.

 

“Covid-19 sudah mulai berkurang dan restoran sudah mulai buka. Jadi permintaan bahan pangan naik. Tahun lalu pas lockdown mungkin lebih rendah, tapi sekarang sudah naik jadi shock demand atau kebutuhan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Ini akan pukul harga jadi naik,” imbuh dia.

 

Ketiga, invasi Rusia ke Ukraina juga akan mempengaruhi harga pangan dalam beberapa bulan ke depan. Hal ini terjadi lantaran beberapa bahan pangan Tanah Air masih dipasok dari impor, seperti kedelai dan gandum.

 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020 lalu, Indonesia mengimpor 2,9 juta kilogram (kg) biji gandum dan meslin dari Ukraina. Angka tersebut jadi impor biji gandum terbesar dengan nilai mencapai US$707 ribu atau setara Rp10,17 miliar (kurs Rp14.388 per dolar).

Baca Juga :  Mengubah Kesalahan Menjadi Kesempatan: Prabowo Subianto Minta Maaf dan Mengajak Kolaborasi untuk Masa Depan Indonesia

 

Secara tidak langsung, invasi Rusia ke Ukraina juga akan mempengaruhi harga pangan lewat kenaikan harga minyak mentah saat ini. “Kalau BBM naik, maka akan dorong biaya distribusi barang jadi naik, otomatis harga pangan jadi mahal,” jelasnya

 

Saat ini, harga minyak mentah dunia sudah melompat tinggi seperti West Texas Intermediate (WTI) berada di posisi US$119,40 per barel. Sementara, minyak mentah Brent berada di posisi US$123,21 per barel.

 

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah dapat mengevaluasi minyak goreng dengan mulai mensinkronisasi data produksi dan distribusi minyak goreng. Upaya ini dilakukan guna menemukan titik permasalahan minyak goreng yang mahal dan langka.

 

“Yang dievaluasi sederhana, melakukan verifikasi data antara produsen dengan distributor minyak goreng karena ada saling tuding di antara keduanya. Jadi kalau menurut saya harus verifikasi data dulu,” kata Bhima.

 

Menurutnya, beberapa kemungkinan harga minyak goreng menjadi mahal. Pertama, produsen saat ini lebih memilih untuk mengekspor crude palm oil (CPO) karena harganya yang tengah melonjak tajam. Kedua, kemungkinan ada oknum distributor yang sengaja ‘bermain’ untuk menahan minyak goreng baru dan mengeluarkan minyak goreng lama.

 

Dengan begitu, stok minyak goreng di pasaran tidak sesuai yang diharapkan dan harganya masih mahal. Apabila sudah ditemukan titik permasalahannya dan terdapat penimbunan minyak goreng, Bhima menyarankan agar pemerintah menjatuhkan sanksi tegas terhadap pelaku usaha tersebut.

 

Di lain sisi, ia juga meminta kepada pemerintah untuk mendahulukan prioritas masyarakat terkait penggunaan minyak kelapa sawit. “Kalau masih ada minyak yang digunakan untuk biodiesel, ya mengalah dulu untuk kebutuhan pangan. Jadi pemerintah harus prioritaskan masyarakat,” terang dia.

 

Bhima juga menyarankan pemerintah membeli minyak goreng yang dimiliki pedagang dengan harga normal. Kemudian, minyak tersebut dapat didistribusikan melalui Bulog dengan harga subsidi.

 

Ini dilakukan agar pedagang tidak rugi menjual minyak goreng miliknya dan memberikan harga minyak goreng yang terjangkau bagi masyarakat.

 

 

 

Sumber: Cnnindonesia.com

Artikulli paraprakKapolres Bogor Pimpin Serah Terima Jabatan
Artikulli tjetërViral! Pernikahan Beda Agama, Mempelai Melakukan Akad dan Pemberkatan di Tempat Berbeda