Publikbicara.com – Insiden tertahannya jenazah selama berjam-jam di RSUD Leuwiliang memicu kemarahan anggota DPRD Kabupaten Bogor, Usep Nukliri.
Ia menilai kejadian ini mencerminkan bagaimana kesehatan dan nyawa manusia seolah telah menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan layaknya kaum kapitalis.
“Apapun alasannya, ketika uang selalu menjadi ganjalan dan menimbulkan kesulitan bagi masyarakat miskin, itu tidak baik,” ujar Usep dengan nada getir, Kamis (20/3/2025).
Menurutnya, kasus ini semakin memilukan karena menyangkut jenazah yang seharusnya segera dimakamkan.
“Ini fardu kifayah, kewajiban kita semua. Jika jenazah tidak segera diurus hanya karena alasan uang, itu sangat tidak manusiawi,” tegasnya sambil mengernyitkan dahi.
Polemik keterlambatan pengurusan jenazah di rumah sakit kerap menjadi sorotan. Banyak warga miskin yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, apalagi ketika terbentur biaya administrasi.
Jika benar keterlambatan ini terjadi karena faktor keuangan, maka hal ini semakin menegaskan bahwa akses kesehatan masih menjadi hak istimewa bagi mereka yang mampu.
Menanggapi kejadian tersebut, Humas RSUD, Amir, menegaskan bahwa rumah sakit tidak menahan jasad R selama berjam-jam.
Ia menjelaskan bahwa prosedur yang diterapkan sesuai dengan regulasi BPJS Kesehatan, khususnya terkait keterlambatan pembayaran iuran JKN-KIS.
Menurut Amir, peraturan yang berlaku mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan.
Salah satu ketentuannya menyatakan bahwa apabila dalam 45 hari setelah kepesertaan BPJS kembali aktif peserta memerlukan layanan rawat inap tingkat lanjutan, maka akan dikenakan denda sebesar 5% dari biaya perawatan awal dikalikan jumlah bulan tunggakan, dengan maksimal 12 bulan atau Rp30 juta.
“Jadi ini bukan aturan rumah sakit, rumah sakit tidak menahan, melainkan aturan dari BPJS yang belum sepenuhnya dipahami masyarakat. Ini menjadi PR kita bersama untuk terus menyosialisasikan hal ini,” ujar Amir, Rabu (19/03/2028) kemarin.
Amir menekankan pentingnya peran pemerintah desa dalam menyampaikan informasi terkait aturan BPJS kepada masyarakat.
Ia menyarankan agar kader kesehatan di desa aktif dalam memberikan pemahaman mengenai regulasi layanan kesehatan.
“Harus ada peran lebih dari desa dalam sosialisasi aturan ini. Kader-kader kesehatan juga harus memahami agar bisa memberikan edukasi kepada masyarakat,” tambahnya.
Apakah kasus ini hanya fenomena satu kali, ataukah ini cerminan dari carut-marut sistem kesehatan kita? Masyarakat menanti tindakan nyata, bukan sekadar janji perubahan.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













