
Publikbicara.com – Bogor, Selasa 8 Juli 2025, Di sebuah sudut kampung bernama Muncang Babakan, Desa Sipak, Kecamatan Jasinga, aroma mie ayam menguar dari sebuah gerobak sederhana. Tak ada papan nama besar, tak pula spanduk mencolok.
Hanya sebuah senyuman sabar dari Acep Muhqlajar (38), pria ramah yang mengaduk mie sambil menatap ke dalam panci, seolah di sana tersimpan bukan sekadar kuah, tapi kenangan.
Sudah delapan tahun Acep melanjutkan warisan sang ayah, almarhum Bapak Memed, penjual mie ayam yang dikenal para pelanggan setia sejak era 1990-an.
Saat sang ayah wafat delapan tahun silam, Acep meninggalkan pekerjaannya dan memutuskan kembali ke kampung.
Bukan sekadar meneruskan usaha, tapi menjaga rasarasa mie ayam dan rasa rindu.

“Dulu saya kerja di luar, tapi setelah Bapak pupus, saya pulang. Bukan karena tak ada pilihan, tapi karena saya tahu, yang saya jaga bukan cuma dagangan,” ujar Acep, sambil menyendok topping ayam kecap ke atas semangkuk mie. “Yang lebih mahal dari sebuah warisan adalah kenangan.”
Warungnya tak pernah sepi. Meski kompetisi makin banyak gerobak mie ayam kini berjejer di banyak sudut desa namun pelanggan tetap datang, bukan hanya karena rasa, tapi karena cerita.
Satu porsi mie ayam legendaris ini dihargai Rp10.000. Namun bagi sebagian orang, harganya jauh lebih dari itu: nostalgia masa kecil, makan bersama ayah, atau sekadar duduk di bangku plastik yang kini mulai usang.
“Saya nggak ubah resepnya. Sama seperti Bapak dulu bikin. Biar orang tahu, mie ini dibuat dengan cara yang diajarkan penuh cinta,” tutur Acep sambil tersenyum kecil.
Ia mengaku lebih sering mengingat masa-masa kecilnya membantu sang ayah, daripada menghitung berapa porsi terjual setiap hari.
Di kampung, Acep dikenal bukan hanya sebagai pedagang, tapi juga penjaga kenangan. Setiap semangkuk yang ia sajikan bukan cuma makanan, tapi juga sepenggal kisah.
Dan mungkin itulah yang membuat pelanggan terus datang: untuk merasa dekat, bukan hanya dengan rasa, tapi juga dengan masa lalu.
Acep bukan hanya menjual mie ayam. Ia menjual waktu yang direbus perlahan dalam kuah, ditaburi irisan ayam, dan disajikan dengan senyum yang sama seperti ayahnya dahulu.
Karena di Kampung Muncang Babakan, warisan yang sesungguhnya bukanlah gerobak atau resep. Tapi kenangan. Dan Acep tahu, ia harus menjaga rasa itu tetap hidup.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow












