Publikbicara.com – Ini adalah kisah tentang senyap yang memilukan, yang jauh dari gemerlap lampu kota dan lantai marmer birokrasi.
Kisah tentang perempuan-perempuan yang terhempas dari bahtera rumah tangga, hanya untuk terdampar di pulau sunyi bernama putus asa ekonomi.
Mereka adalah wajah-wajah nyata di balik statistik kelam, yang nasibnya kini terperangkap dalam jerat paling modern dari kemiskinan prostitusi daring (online) yang merayap hingga ke pelosok kampung dan bilik-bilik kosan.
Kepingan Hati yang Retak:
Sebut saja namanya Radiana (nama disamarkan). Usianya belum genap empat puluh tahun.

Perpisahan dengan suami tak hanya meninggalkan status janda, tetapi juga tumpukan utang dan tanggung jawab menafkahi dua anak yang masih bersekolah.
Keahlian yang minim dan lapangan kerja yang tak ramah bagi usia dan latar belakangnya, membuat pintu rezeki seolah tertutup rapat.
Ran, dan ratusan bahkan ribuan wanita senasib dengannya, bukan datang dari panti pijat mewah atau diskotek berkelas.
Mereka adalah korban struktural dari kegagalan sistem pendukung sosial pasca-perceraian, yang memaksa mereka memilih jalan terjal demi sesuap nasi.
Perpindahan Gelombang: Dari Hotel ke Kosan Kontrakan
Fenomena prostitusi sejatinya bukanlah hal baru. Namun, dengan hadirnya teknologi, ia bermetamorfosis menjadi hantu yang lebih sulit diberantas.
Prostitusi daring memutus mata rantai ketergantungan pada germo konvensional, dan yang paling mencolok, mengubah lokasi “transaksi”.

Jika dulu praktik esek-esek identik dengan hotel bintang atau lokalisasi yang terpusat, kini ia menyusup diam-diam ke jantung permukiman.
Aplikasi kencan dan media sosial menjadi etalase, sementara kamar-kamar kosan dan kontrakan di gang-gang sempit menjadi ruang tunggu sekaligus tempat eksekusi.
Inilah ironi baru yang tak terjamah radar birokrasi, praktik terlarang ini kini berbaur dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Seorang wanita yang pagi harinya memasak sarapan untuk anak, siang harinya mungkin harus melayani ‘tamu’ yang datang dari aplikasi, tepat di kontrakan yang disewanya bulanan.
Biaya Hidup vs Harga Diri:
Mereka yang terjebak di lingkaran ini seringkali dihadapkan pada dilema eksistensial.
Di satu sisi, ada tuntutan untuk bertahan hidup dan menjamin masa depan anak dan di sisi lain, ada beban moral dan risiko kesehatan serta hukum yang mengancam.
“Kami tidak punya pilihan lain, Mbak,” ujar seorang informan dengan suara parau, “Mencari kerja susah, sementara perut harus diisi. Uang dari sini, walau sedikit, bisa bayar kontrakan dan beli seragam sekolah anak. Kami ini cuma sisa-sisa yang dibuang oleh takdir.”
Kisahnya tidak hanya berhenti pada kebutuhan finansial.
Dalam banyak kasus, para wanita ini juga menjadi korban eksploitasi dan kekerasan, yang semakin memperparah trauma psikologis mereka pasca kegagalan rumah tangga.
Pesan yang Tak Sampai ke Meja Kebijakan:
Kisah-kisah ini adalah jeritan yang tenggelam dalam riuh rendahnya wacana pembangunan dan politik. Kisah ini tidak pernah menjadi agenda utama di mimbar birokrasi karena:
- Kurangnya Data Akurat: Prostitusi daring di kosan sifatnya tersembunyi dan tidak terpusat, sulit diukur dan dipetakan oleh lembaga resmi.
- Stigma Sosial: Para korban sering kali dianggap sebagai “penyakit masyarakat” alih-alih korban kemiskinan dan kegagalan sistem, sehingga penyelesaiannya didominasi pendekatan moralitas dan penindakan, bukan rehabilitasi ekonomi.
- Fokus Kebijakan yang Terlalu Tinggi: Pemerintah seringkali fokus pada isu-isu makro, sementara permasalahan mikro seperti kerentanan ekonomi perempuan pasca-perceraian luput dari perhatian serius.
Pada akhirnya, cerita tentang perempuan yang menjual diri di balik dinding kosan sederhana ini adalah cerminan dari lubang besar dalam jaring pengaman sosial kita.
Mereka adalah korban yang terpinggirkan dua kali, oleh kegagalan domestik, dan oleh kebisuan negara yang gagal menyediakan jalan keluar yang bermartabat.
Sudah saatnya kisah-kisah senyap ini diangkat, bukan hanya sebagai berita sensasional, melainkan sebagai peringatan bagi pembuat kebijakan bahwa kesejahteraan sosial bukan hanya diukur dari angka-angka pertumbuhan, tetapi dari kemampuan negara melindungi harkat dan martabat setiap warganya, terutama mereka yang terpaksa bertarung sendirian di bawah bayang-bayang kegagalan hidup.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













