
Publikbicara.com- Di Desa Sukamaju, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, terdapat sebuah tempat yang tak hanya menjadi titik hening bagi alam, tetapi juga ruang bersemayamnya cerita turun-temurun.
Warga menyebutnya Petilasan Ki Buyut Jamaludin sebuah lokasi di Kampung Mekarjaya Cigowong yang hingga kini masih dilingkupi kabut misteri.
Begitu kaki melangkah ke kawasan ini, pemandangan batu cadas dan batuan sedimen pasir seolah menyambut dengan diam yang tua. Tak jauh dari sana, terlihat puing-puing bangunan yang diyakini peninggalan zaman Hindia Belanda.
Reruntuhan itu berdiri sebagai penanda bahwa tempat ini bukan sekadar ruang sunyi, melainkan saksi bisu perjalanan sejarah.
Namun, yang membuat petilasan ini lebih dari sekadar jejak arkeologis adalah kisah yang hidup di tengah masyarakat.
Sebuah cerita rakyat yang diwariskan dari mulut ke mulut, tentang keajaiban yang hanya bisa diperoleh oleh mereka yang bertapa di sana: sebuah batu keong.
Konon, batu keong itu bukan sembarang batu. Ia diyakini membawa kekuatan yang melampaui logika. Pemiliknya disebut akan memiliki kemampuan bersembunyi, bahkan tubuh yang sekeras cangkang keong, lebih kokoh daripada isi raganya.
Cerita itu menyambung dengan kisah leluhur, yang dipercaya memiliki keunggulan berupa kedigdayaan seperti kebal senjata, tak tersentuh bahaya, dan mampu lenyap dari pandangan saat dikejar.
“Cerita itu sudah lama ada di kampung ini. Dari orang tua ke anak, dari kakek ke cucu. Saya sendiri tahu kisah batu keong itu dari orang tua saya,” tutur Karma Hidayat,Jumat (5/9/2025).
Suaranya terdengar pelan, seolah tengah menjaga sesuatu yang sakral dari sekadar dianggap dongeng belaka.
Petilasan Ki Buyut Jamaludin seolah memaksa siapa pun yang datang untuk memilih: apakah percaya pada cerita mistis yang beredar, atau lebih melihatnya sebagai simbol perlawanan masa lalu.
Batu keong mungkin hanyalah metafora tentang kekuatan bertahan, tentang kecerdikan leluhur menyelamatkan diri di tengah masa sulit.
Namun bagi masyarakat sekitar, kisah itu tak perlu dibenturkan dengan logika. Ia hidup sebagai bagian dari identitas.
Seperti halnya cerita rakyat lain di Nusantara, ia menjadi pengikat antara generasi, sekaligus pengingat bahwa di balik batu-batu bisu itu, ada jejak kehidupan yang pernah berdenyut.
Menariknya, petilasan ini bukan hanya tentang cerita gaib. Alam di sekitarnya menyimpan pesona yang sama misteriusnya.
Leuwi Sangiang berdiri dengan aliran air yang jernih, dikelilingi hutan hijau yang lebat, menyuguhkan pemandangan yang membuat siapa pun merasa sedang melangkah ke dalam dimensi lain.
Tebing cadas menjulang, akar-akar pohon tua menjuntai, dan suara burung-burung hutan menambah suasana mistis yang alami.
Sebagian warga percaya bahwa kekayaan alam di sekitar petilasan itulah yang justru menjadi misteri terbesar.
Ada daya tarik tak kasat mata yang membuat orang merasa betah, meski hanya duduk sejenak di pinggir leuwi.
Seolah-olah alam sendiri sedang menjaga rahasianya, menunggu untuk diungkap, namun hanya oleh mereka yang tulus dan sabar.
Petilasan Ki Buyut Jamaludin di Leuwi Sangiang bukan sekadar ruang hening yang menyimpan cerita rakyat. Ia adalah pertemuan antara sejarah, legenda, dan pesona alam yang belum banyak tersentuh.
Tempat ini mengajarkan bahwa dalam setiap batu cadas, dalam setiap aliran sungai, selalu ada kisah yang tak terlihat mata, tetapi hidup di hati masyarakatnya.
Di tengah arus modernisasi yang kian deras, kisah tentang batu keong dan kedigdayaan leluhur mungkin terdengar sebagai mitos belaka.
Namun bagi warga Cigudeg, mitos itu adalah bagian dari jati diri. Dan barangkali, seperti kata pepatah lama, yang gaib kadang hanya butuh waktu untuk dipahami sebagai bagian dari kenyataan.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow












