Publikbicara.com– Aksi demonstrasi akhir Agustus 2025 tak hanya ramai di jalan, tapi juga memanas di ruang maya.
Analisis percakapan warganet menunjukkan pola narasi yang bergeser cepat: dari “bubarkan DPR” (25/8), berubah menjadi seruan mengadili “Geng Solo” (29/8), hingga ajakan penjarahan dan sentimen SARA (30–31/8).
Fenomena ini tak lepas dari peran pasukan buzzer yang diduga terorganisir. Mereka bukan hanya memperkuat narasi, tapi juga mengacaukan ruang publik digital.
Bahkan, upaya melibatkan influencer turut muncul. Sejumlah nama populer seperti Jerome Polin hingga Vincent Liyanto disebut sempat ditawari kerja sama untuk menyuarakan pesan perdamaian.
Meski narasi damai terkesan positif, kemunculannya justru dinilai kontraproduktif di tengah protes atas represifitas aparat dan ketidakpekaan pemerintah.
Pakar komunikasi digital menilai, langkah itu berisiko menenggelamkan suara organik masyarakat yang menuntut perubahan.
Laporan akademik pun mengungkap, pola kerja pasukan siber di Indonesia mirip “arsitektur disinformasi berjejaring” di Filipina: melibatkan arsitek strategi, koordinator, hingga influencer dan buzzer.
Tujuannya jelas, mengendalikan opini publik agar selaras dengan kepentingan politik.
Tarif kerja sama dengan influencer pun tak main-main. Tawaran pada mega influencer bisa menembus ratusan juta rupiah, jauh melampaui tarif brand komersial.
Namun, di balik imbalan besar itu, risikonya pun tinggi, sehingga tak semua influencer berani menerima tawaran politik.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













