Publikbicara.com – Minggu Malam, 10 Agustus 2025. Langit di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, tampak kelabu sejak siang.
Hujan turun rapat, membasahi jalan-jalan kecil yang membelah hamparan sawah dan kebun di Desa Sipak. Di Kampung Muncang, suara rintik hujan berpadu dengan lantunan ayat suci.
Pelataran majlis, rumah, dan tenda-tenda sederhana yang didirikan mulai penuh, kursi plastik dan tikar terisi jamaah yang datang dari berbagai penjuru.
Di tengah barisan itu, seorang pria berpeci hitam, kemaja putih, dan celana panjang hitam, Anggota DPRD Kabupaten Bogor, Aan Triana Al Muharom, duduk bersila.
Bukan di kursi kehormatan, melainkan sejajar dengan para Kiyai, Ulama, dan warga yang duduk di lantai.
Sambil mlantunkan ayat-ayat suci, ia larut dalam dzikir istighotsah memperingati haul KH. Soleh. seorang ulama kharismatik yang meninggalkan jejak mendalam bagi masyarakat Jasinga.
Hadir Bukan untuk Disorot, Dalam politik, hujan sering jadi alasan untuk menunda acara. Namun bagi Aan, justru hujan adalah penguji ketulusan langkah.
Ia datang bukan untuk berpidato panjang atau berpose di depan kamera, melainkan untuk duduk bersama, membaca doa, dan mengingat seorang guru bangsa yang pernah hidup sederhana namun berdampak besar.

“Ini soal kebutuhan hati. Saya ingin menghidupkan kembali tradisi silaturahmi dan dzikir bersama, karena itu bagian dari kesehatan spiritual,” ucapnya pelan, nyaris tenggelam oleh suara hujan di atap tenda.
Istighotsah, Menjaga Jiwa, Merawat Sosial:
Istighotsah, secara harfiah berarti memohon pertolongan kepada Allah. Dalam tradisi kampung, ia bukan hanya ritual untuk mengharap keberkahan, tetapi juga titik temu antarwarga yang mungkin jarang berjumpa di hari biasa.
Usai doa, orang-orang saling sapa, bertukar kabar, bahkan bercanda ringan sambil menikmati kopi dan singkong rebus.
Inilah yang disebut Aan sebagai “kesehatan spiritual yang berdampak pada kesehatan sosial.”
Dalam dunia yang makin sibuk dan individualistis, momen seperti ini mengingatkan kembali bahwa masyarakat kuat dibangun dari hubungan yang hangat, bukan sekadar infrastruktur fisik.
Teladan yang Menetes ke Generasi Muda:
KH. Soleh, sosok yang dihaulkan, bukan hanya guru agama. Ia pendidik yang mengajarkan bahwa iman harus diiringi amal.
Ia menanamkan kepada murid-muridnya yang kini sebagian telah menjadi pemimpin lokal bahwa keberkahan hidup lahir dari kerja keras, kejujuran, dan kepedulian.
Aan percaya, menghadiri haul bukan sekadar mengenang masa lalu, tapi juga menghidupkan kembali nilai-nilai itu untuk generasi muda.
“Kalau anak-anak melihat pemimpinnya mau duduk bersama warga dalam hujan untuk berdoa, mereka akan belajar bahwa kepemimpinan itu soal hati, bukan gengsi,” ujarnya.
Teduh di Tengah Derasnya Zaman:
Hingga malam, hujan mulai mereda, namun tanah yang becek dan udara dingin tak menyurutkan semangat warga untuk tetap duduk hingga dzikir penutup selesai.
Sebagian menyalami Aan, sebagian lagi menyelipkan doa di telinga: “Sehat selalu, Pak.”
Sore itu, Kampung Muncang seperti menemukan hangatnya perapian di tengah musim hujan. Di luar sana, dunia terus bergerak cepat.
Tapi di sini, di tengah majlis dziki, orang-orang belajar bahwa iman dan persaudaraan bisa menjadi atap yang meneduhkan hati, bahkan di tengah derasnya hujan dan derasnya tantangan zaman.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













