Publikbicara.com — Duka mendalam menyelimuti dunia pendakian Indonesia dan Brasil setelah Juliana Marins (26), seorang pendaki wanita asal Brasil, ditemukan meninggal dunia di jurang Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Proses pencarian dan evakuasi berlangsung dramatis selama empat hari, menyusul kehilangannya di kawasan Cemara Tunggal, pada Sabtu (21/6/2025).
Peristiwa tragis ini bermula saat Juliana mendaki bersama lima rekannya dan seorang pemandu wisata (guide) melalui jalur Sembalun pada Jumat (20/6).
Mereka menargetkan mencapai puncak Rinjani—gunung tertinggi kedua di Indonesia dengan ketinggian 3.726 mdpl.
Namun, saat rombongan berada di ketinggian Cemara Tunggal keesokan paginya, Juliana dilaporkan kelelahan.
Sesuai prosedur, sang pemandu menyarankannya beristirahat sementara pendaki lain melanjutkan perjalanan ke puncak.
“Ketika menuju puncak Rinjani, dalam perjalanannya di area Cemara Tunggal korban mengalami kelelahan dan guide saat itu menyarankan korban untuk beristirahat,” jelas Kepala Seksi Humas Polres Lombok Timur, AKP Nikolas Osman.
Namun ketika rombongan kembali, Juliana sudah tidak berada di tempat ia ditinggalkan.
Panik menyergap. Sang pemandu segera melakukan pencarian di sekitar lokasi. Dalam kegelapan dan kabut yang menyelimuti, ia melihat seberkas cahaya senter dari dasar tebing curam, sekitar 200 meter ke arah Danau Segara Anak.
Menduga cahaya itu milik Juliana, ia langsung menghubungi Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), yang kemudian mengerahkan tim SAR gabungan dari Basarnas, TNI, Polri, TNGR, dan relawan. Proses pencarian dimulai pada pukul 09.50 WITA.
Medan ekstrem dan cuaca yang cepat berubah menjadi tantangan besar. Kabut tebal kerap menutupi jurang dan membuat visibilitas terbatas.
Sebuah rekaman drone dari turis Spanyol yang berada di kawasan itu menunjukkan Juliana masih hidup pada Sabtu sore—dalam posisi duduk, terlihat bergerak meski terluka.
Video tersebut viral di Brasil, memunculkan harapan sekaligus desakan publik agar operasi penyelamatan dipercepat.
Namun harapan itu segera berubah menjadi kecemasan. Pada Minggu (22/6), Juliana sudah tidak terlihat di titik sebelumnya. Diduga, ia tergelincir lebih jauh ke jurang yang lebih dalam.
Tim SAR tak menyerah. Dengan bantuan drone thermal, pada Senin (23/6), Juliana kembali terdeteksi dalam kondisi tidak bergerak di kedalaman sekitar 500 meter. Medan yang terjal membuat proses penyelamatan semakin berisiko.
Puncaknya terjadi pada Selasa (24/6), pukul 18.00 WITA, saat rescuer Basarnas, Khafid Hasyadi, akhirnya menjangkau tubuh Juliana di kedalaman 600 meter.
“Dilakukan pemeriksaan korban dan tidak ditemukan tanda-tanda kehidupan,” ungkap Kepala Basarnas, Marsekal Madya Mohammad Syafii, dalam konferensi persnya.
Diduga kuat, Juliana meninggal akibat kombinasi luka akibat jatuh dan hipotermia. Terluka parah, terjebak selama berhari-hari dalam suhu dingin ekstrem, dan tidak mendapatkan pertolongan segera membuat tubuhnya kehilangan daya tahan.
Kepala Taman Nasional Gunung Rinjani, Yarman, mengingatkan pentingnya kewaspadaan dalam pendakian gunung.
“Kami mengimbau para pendaki untuk senantiasa berhati-hati saat mencapai puncak dan mematuhi SOP pendakian yang telah ditetapkan demi keselamatan bersama,” ujarnya.
Kematian tragis Juliana Marins menjadi pengingat pahit bahwa pendakian bukan sekadar petualangan, tetapi perjalanan yang menuntut kesiapan fisik, mental, dan ketaatan terhadap prosedur keselamatan.
Selamat jalan, Juliana. Jejakmu di Rinjani tak akan hilang, menjadi pelajaran bagi kita semua.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













