Beranda News Ketika Luka Masa Kecil Menjelma Krisis Dewasa: Mengapa Banyak Anak Sulit Memaafkan...

Ketika Luka Masa Kecil Menjelma Krisis Dewasa: Mengapa Banyak Anak Sulit Memaafkan Orang Tuanya?

Publikbicara.com — Banyak dari kita baru menyadari di usia dewasa bahwa cara kita dibesarkan oleh orang tua ternyata meninggalkan bekas yang dalam.

Tidak sekadar rasa kecewa, tapi luka emosional yang terbawa hingga ke tahap kehidupan selanjutnya dalam hubungan, dalam karier, bahkan dalam pencarian jati diri.

Jesslyn (28), seorang pegawai swasta di Jakarta, menyadari bahwa sebagian besar kebingungan dalam kariernya bermula dari masa remaja, ketika keinginannya untuk memilih jurusan kuliah yang ia sukai ditolak oleh orang tua.

READ  Prabowo Soroti Pemulihan Tesso Nilo: 40 Ribu Hektare Sawit Ilegal Dibongkar, Satgas Garuda Turun Tangan

“Dulu aku ingin masuk jurusan seni, tapi dilarang karena katanya tidak menjanjikan. Sekarang aku lulus, kerja, tapi bingung: ini sebenarnya yang aku mau atau bukan?” ujarnya, dengan nada getir.

Perasaan serupa juga dialami oleh Andien, 30 tahun. Meskipun tumbuh dalam keluarga yang berkecukupan, ia menyimpan luka yang tak kasatmata kepercayaan diri yang rendah, rasa takut mencoba, dan kecemasan dalam mengambil keputusan.

“Waktu kecil, aku sering dilarang bantu-bantu di rumah. Kata Mama, nanti rusak, nanti repot. Sekarang, aku malah jadi takut salah,” kisahnya.

READ  Gencatan Senjata Israel-Iran Diumumkan, Trump dan Netanyahu Klaim Kemenangan, Pezeshkian Siap Berunding

Pengalaman Jesslyn dan Andien bukanlah kasus tunggal. Banyak orang tumbuh dewasa dengan membawa trauma masa kecil akibat perlakuan yang keliru dari orang tua.

Bentuknya bisa beragam ayah yang absen, ibu yang terlalu menuntut, atau orang tua yang kerap meremehkan usaha sang anak.

Semua ini bisa menjadi Adverse Childhood Experiences (ACEs), yang menurut psikolog Mahadsih Worowiranti, M.Psi., dapat memengaruhi kesehatan mental dan emosi seseorang saat dewasa.

READ  Gencatan Senjata Israel-Iran Diumumkan, Trump dan Netanyahu Klaim Kemenangan, Pezeshkian Siap Berunding

“Bisa karena pengabaian, penelantaran, atau kekurangan kasih sayang — baik secara fisik maupun emosional,” jelas Mahadsih. Misalnya, orang tua yang terlalu sibuk bekerja hingga tidak sempat berkomunikasi secara hangat, atau yang kesulitan membagi perhatian secara adil antar anak-anaknya.

Seiring berjalannya waktu, kesadaran akan luka-luka itu kerap memunculkan beragam reaksi: amarah, frustasi, hingga konflik terbuka dengan orang tua.

Tapi di saat yang sama, muncul pula keinginan untuk berdamai. Sayangnya, memaafkan bukan perkara mudah terlebih ketika luka itu tidak pernah diakui oleh pihak yang menyakitkan.

READ  Viral Isu Penghapusan BPJS PBI, Pemerintah Klarifikasi: Bukan Dihapus, Tapi Dimutakhirkan

Yvonne Castañeda, psikoterapis dan penulis memoar Pork Belly Tacos with a Side of Anxiety (2022), menjelaskan bahwa banyak orang baru bisa memaafkan orang tuanya jika mereka mau mengakui kesalahan.

“Rasanya tidak adil. Kenapa harus memaafkan kalau mereka bahkan tidak merasa bersalah?” kata Castañeda, seperti dikutip dari Psychology Today.

Dalam banyak kasus, orang tua merasa telah berkorban begitu banyak demi anak-anaknya. Ketika anak mengungkap luka masa kecil, yang muncul adalah penyangkalan.

READ  Chelsea Libas Esperance 3-0! Liam Delap Menggila, The Blues Lolos ke Fase Gugur

“Bagi orang tua, menerima kenyataan bahwa mereka mengecewakan anak itu sangat sulit,” ungkap Mahadsih.

“Mereka merasa sudah melakukan yang terbaik. Padahal, yang dibutuhkan anak bukan hanya nafkah, tapi juga kasih sayang dan ruang untuk tumbuh.”

Dalam kondisi ideal, Mahadsih menekankan pentingnya komunikasi terbuka antara orang tua dan anak. “Pertemuan dan percakapan yang tepat, dengan suasana emosional yang sehat, dapat membuka pintu rekonsiliasi,” katanya.

READ  Film Sobat Ambyar: Ketika Cinta, Luka, dan Lagu Didi Kempot Menyatu

Namun, sebelum itu terjadi, tiap individu juga perlu memahami satu hal penting: orang tua adalah manusia. Mereka bukan makhluk sempurna, dan sama seperti kita, mereka belajar sambil menjalani.

“Kesalahan orang tua memang manusiawi. Tapi dampaknya tetap harus diakui,” tegas Mahadsih. Pengakuan itulah yang menjadi jembatan antara luka dan pemulihan agar kita bisa menjadi dewasa bukan dengan dendam, tapi dengan pemahaman.

Di akhir hari, mungkin kita tak bisa mengubah masa lalu. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita menyikapinya hari ini: dengan menyimpan marah, atau perlahan-lahan belajar memaafkan demi kita sendiri.***

Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow

Artikulli paraprakPrabowo Soroti Pemulihan Tesso Nilo: 40 Ribu Hektare Sawit Ilegal Dibongkar, Satgas Garuda Turun Tangan
Artikulli tjetërKPK Bongkar Dugaan Korupsi Belasan Miliar di Lingkungan Setjen MPR RI: Sudah Ada Tersangka