Publikbicara.com — Titik kecil yang muncul di radar kapal perang USS Vincennes pagi itu mengubah wajah sejarah penerbangan sipil dan menciptakan luka diplomatik yang belum pulih hingga hari ini.
Di tengah ketegangan Perang Iran–Irak, militer Amerika Serikat menerapkan kebijakan keras di wilayah Teluk Persia.
Meski tak secara resmi berperang, AS secara terang-terangan membantu Irak dengan memasok senjata dan mengerahkan kekuatan militer ke wilayah perairan strategis, termasuk Selat Hormuz.
Salah satu kapal yang ditugaskan adalah USS Vincennes, dikomandoi oleh Kapten William C. Rogers III. Perintahnya jelas, respons cepat terhadap segala bentuk ancaman dari Iran.
Tapi pagi itu, di Selat Hormuz, 3 Juli 1988 yang disebut ancaman ternyata adalah pesawat komersial Iran Air 655, bukan jet tempur musuh.
Salah Tembak Berdarah itu terjadi pada Pukul 10.17 waktu setempat, radar USS Vincennes menangkap titik yang dianggap sebagai jet tempur Iran jenis F-14.
Kapten Rogers, dalam kondisi siaga tinggi dan berbekal informasi minim, menganggapnya sebagai ancaman. Tujuh menit kemudian, pukul 10.24, rudal diluncurkan.
Pesawat yang disangka jet tempur itu meledak di udara. Puing-puingnya jatuh ke laut, menewaskan 290 penumpang sipil, termasuk 66 anak-anak dan 16 kru. Semua dalam kondisi mengenaskan.
Hanya beberapa saat setelahnya, pihak militer AS baru menyadari bahwa pesawat yang mereka hancurkan adalah Iran Air Flight 655 rute Teheran–Dubai, pesawat sipil yang tengah berada di jalur udara komersial yang sah.
Menyangkal, Lalu Menyesal Tanpa Maaf: Kementerian Pertahanan AS pada awalnya membela diri.
Pentagon mengklaim bahwa kapal sudah memberikan peringatan kepada pesawat, namun tidak mendapat respons. Presiden Ronald Reagan pun turut membenarkan tindakan bawahannya dan menyebutnya sebagai “aksi bela diri.”
Namun, tekanan internasional dan fakta-fakta teknis terus menekan. Laporan Newsweek tahun 1993 mengungkap bahwa pesawat Iran Air terbang pada ketinggian dan jalur udara komersial yang sah.
Pesawat jenis Airbus A300 yang besar dan lambat seharusnya bisa dibedakan dari F-14 yang ramping dan cepat.
Meski akhirnya AS mengakui kesalahan, mereka tidak pernah mengucapkan permintaan maaf resmi.
Sebagai gantinya, AS hanya menyatakan penyesalan, dan menyebut insiden ini sebagai akibat dari “situasi konflik” yang disebabkan Iran sendiri.
Dibayar, Tapi Tak Ditegakkan Keadilan, Pada tahun 1992, Mahkamah Internasional menetapkan bahwa AS harus membayar kompensasi sebesar US$ 61,8 juta kepada keluarga korban.
Namun, dalam kesepakatan itu, AS tidak dinyatakan bersalah secara hukum. Sebuah ironi dalam diplomasi internasional yang membuat luka makin dalam.
Menurut analis Pierre Razoux dalam The Iran-Iraq War (2016), posisi AS tetap mengandalkan narasi pembelaan diri, seolah tragedi ini adalah konsekuensi kebijakan Iran dalam mempertahankan perang.
Tapi publik dunia, dan terutama keluarga korban, tahu bahwa ini bukan sekadar “kesalahan teknis.” Ini adalah kesalahan moral dan kemanusiaan.
Tragedi yang Tak Pernah Lenyap, Iran Air 655 bukan hanya sekadar catatan kelam dalam sejarah penerbangan.
Ini adalah simbol dari bagaimana militerisasi wilayah sipil, ketegangan geopolitik, dan arogansi kekuasaan bisa menghancurkan nyawa manusia tak bersalah.
Lebih dari tiga dekade berlalu, tragedi ini tetap menjadi pelajaran pahit: bahwa kesalahan bisa dimaafkan, tetapi arogansi tanpa penyesalan akan selalu diingat sebagai noda hitam dalam catatan dunia.***
Sumber: CBNCindonesia
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













