Publikbicara.com – Ledakan inovasi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) tak hanya membawa manfaat, tetapi juga membuka celah baru bagi pelaku kejahatan siber.
Dalam laporan terbaru bertajuk “The Battle Against AI-Driven Identity Fraud” yang dirilis Signicat, terungkap bahwa penipuan berbasis deepfake melonjak hingga 2.137 persen dalam tiga tahun terakhir.
Fenomena ini memantik kekhawatiran besar di kalangan institusi keuangan dan masyarakat luas.
Penjahat siber kini kian lihai memanfaatkan teknologi AI untuk merancang skema penipuan yang canggih dan nyaris tak terdeteksi.
Mereka menciptakan konten palsu berupa video, suara, dan pesan elektronik yang tampak dan terdengar meyakinkan.
Dari korporasi multinasional hingga individu, semua bisa menjadi sasaran empuk.
Tak sekadar menyerang perusahaan, tren kejahatan ini telah merambah ke level individu. Di Indonesia, berbagai modus penipuan mulai bermunculan dari video deepfake yang menyamar sebagai pejabat, surel phishing yang menjebak korban, hingga chatbot pintar yang meniru gaya bicara seseorang demi mencuri data pribadi.
“Ini bukan sekadar teknologi canggih, ini sudah menjadi ancaman nyata,” ujar Henke Yunkins, Direktur Regulasi dan Etika dari Indonesia AI Society (IAIS), dalam wawancaranya bersama Tirto, Selasa (10/6/2025).
Henke menambahkan bahwa kejahatan semacam ini umumnya dilakukan dalam skema Cybercrime-as-a-Service (CaaS), di mana pelaku dapat menyewa layanan seperti pembuatan deepfake atau voicebot untuk tujuan kriminal. Fenomena ini membuat jejak kejahatan sulit dilacak, apalagi jika dijalankan lintas negara.
Merespons situasi ini, Henke menilai bahwa penguatan sumber daya manusia penegak hukum menjadi krusial, termasuk peningkatan kapasitas dalam menangani kasus siber dan memperluas kerja sama hukum antarnegara.
Ia juga menekankan pentingnya peningkatan literasi digital di masyarakat. “Masyarakat perlu tahu bahwa tidak semua yang terdengar atau terlihat di layar adalah nyata,” tegasnya.
Rencana pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk menyusun “Peta Jalan AI” mendapat sambutan positif, namun menurut Henke, langkah ini harus diiringi dengan pembaruan regulasi yang lebih tajam.
Ia mendorong revisi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) agar mencakup ketentuan spesifik terkait kejahatan berbasis AI.
“Regulasi yang diperkuat akan menegaskan bahwa yang kita lawan bukan teknologinya, tapi tindakan kriminal yang menggunakan teknologi tersebut sebagai alat,” katanya.
Prediksi menunjukkan bahwa penggunaan AI di Indonesia akan melonjak tajam hingga 2030. Tanpa perlindungan hukum yang memadai dan langkah pencegahan yang tegas, lonjakan ini bisa menjadi bumerang sosial.
Di tengah euforia digital, penting bagi masyarakat dan negara untuk bersama-sama menjaga ruang siber agar tetap aman dan etis.
AI adalah pisau bermata dua dan hanya dengan kebijakan yang tepat serta edukasi yang menyeluruh, pisau itu bisa digunakan untuk membangun, bukan menghancurkan.**
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













