Publikbicara.com – Jakarta, 13 Juni 2025, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin akhirnya angkat bicara soal aturan baru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mewajibkan peserta asuransi kesehatan swasta menanggung sebagian biaya pengobatan secara mandiri atau sistem co-payment.
Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 yang akan mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2026.
Meskipun belum membaca secara mendetail isi regulasi tersebut, Menkes Budi menyatakan memahami bahwa kebijakan ini ditujukan khusus bagi produk asuransi kesehatan swasta.
“Saya belum update sekali tentang aturan ini ya, tapi pemahaman saya itu berlaku untuk asuransi swasta,” ujar Budi kepada wartawan di Jakarta, Kamis (12/6/2025).
Lebih lanjut, Budi menilai secara prinsip sistem co-payment bisa membawa dampak positif jika dilihat dari sisi edukasi bagi peserta asuransi.
Ia membandingkan konsep ini dengan asuransi kendaraan, di mana pemilik tetap diwajibkan menanggung sebagian biaya meski sudah mengasuransikan kendaraannya.
“Ada bagusnya juga dengan adanya co-payment ini. Jadi mirip seperti asuransi kendaraan. Kalau ada tabrakan, tetap harus bayar sedikit. Dengan begitu, kita jadi lebih hati-hati dalam berkendara,” jelasnya.
Ia menambahkan, semangat yang sama bisa diterapkan dalam layanan kesehatan.Dengan adanya beban biaya kecil yang harus ditanggung pasien, diharapkan masyarakat akan lebih termotivasi untuk menjaga kesehatan.
“Saya rasa itu bagus juga untuk mendidik para pemegang polis asuransi swasta agar mereka menjaga kesehatan dan tidak gampang sakit,” katanya.
Aturan baru dari OJK ini memang dirancang untuk menghadapi lonjakan inflasi medis yang disebut mencapai dua hingga tiga kali lipat inflasi umum.
Dalam keterangan resminya, OJK menjelaskan bahwa skema co-payment juga bertujuan untuk mencegah penggunaan layanan medis secara berlebihan (over-utilization), serta menjaga agar premi asuransi tetap terjangkau dalam jangka panjang.
“Melalui ketentuan ini, OJK mendorong efisiensi pembiayaan layanan kesehatan jangka panjang di tengah tren inflasi medis yang terus naik,” tulis OJK dalam siaran pers tertanggal 5 Juni 2025.
OJK juga menekankan bahwa co-payment diharapkan dapat menekan risiko moral hazard di mana peserta asuransi menggunakan layanan kesehatan secara tidak perlu hanya karena merasa seluruh biaya akan ditanggung pihak asuransi.
Meski memiliki tujuan jangka panjang yang dinilai positif, kebijakan co-payment ini memicu perdebatan publik.
Sebagian masyarakat mengkhawatirkan potensi ketidakadilan, khususnya bagi pasien dengan keterbatasan finansial yang kini harus menanggung tambahan biaya setiap kali berobat.
Penerapan co-payment sebesar minimal 10 persen dari total biaya pengobatan dinilai bisa menjadi beban baru, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi dan inflasi harga kebutuhan pokok yang masih tinggi.
Namun demikian, pemerintah masih dalam tahap mempelajari lebih lanjut isi aturan tersebut.
Menkes Budi sendiri belum memberikan sikap resmi, menunggu kajian lebih rinci terhadap dampaknya terhadap sistem kesehatan nasional.
“Saya belum bisa komentar banyak karena masih ingin pelajari dulu aturannya secara menyeluruh,” tutupnya.
Aturan ini akan mulai berlaku pada awal 2026, dengan masa transisi hingga akhir tahun tersebut untuk polis-polis yang otomatis diperpanjang.
Hingga saat ini, publik masih menantikan bagaimana kebijakan ini akan diimplementasikan serta dampaknya bagi peserta asuransi dan industri kesehatan swasta di Indonesia.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













