Publikbicara.com – Jakarta, 10 Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto akhirnya mengambil langkah tegas, izin usaha pertambangan (IUP) milik empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat dicabut.
Keputusan ini muncul di tengah gelombang protes masyarakat, aktivis lingkungan, dan laporan pelanggaran serius terhadap kawasan konservasi paling sakral di Indonesia.
Langkah itu diumumkan oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dalam konferensi pers Selasa (10/6), yang menyebut bahwa pencabutan izin dilakukan setelah Presiden Prabowo memimpin rapat terbatas khusus membahas aktivitas tambang di Raja Ampat, Papua Barat.
“Atas persetujuan Presiden, pemerintah memutuskan mencabut IUP untuk empat perusahaan di Kabupaten Raja Ampat,” ujar Prasetyo.
Bukan Sekadar Tambang, Ini Soal Masa Depan Raja Ampat
Raja Ampat bukan wilayah biasa. Kawasan ini dikenal sebagai surga biodiversitas dunia, rumah bagi 75 persen spesies karang dunia dan ribuan spesies laut yang tak ditemukan di tempat lain.

Fakta bahwa 97 persen wilayah Raja Ampat adalah daerah konservasi seolah tak berarti di hadapan nafsu eksploitasi tambang.
Selama ini, terdapat lima perusahaan yang mengantongi izin pengerukan di sana. Dua perusahaan mendapat izin dari pemerintah pusat PT Gag Nikel (sejak 2017) dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP) (sejak 2013).
Sementara tiga lainnya PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham mendapat izin dari pemerintah daerah.
Namun dari hasil pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada akhir Mei, empat dari lima perusahaan terbukti melakukan pelanggaran serius terhadap lingkungan, termasuk pencemaran perairan dan rusaknya vegetasi pantai.
Ironisnya, Kementerian ESDM justru mengklaim tak menemukan masalah berarti.
Dalam kunjungan ke lokasi tambang, Dirjen Minerba Tri Winarnousai menyebut, “Tidak ada sedimentasi, tidak ada persoalan.”
Sontak, pernyataan ini dipertanyakan banyak pihak, terutama setelah KLHK justru menemukan pelanggaran di perusahaan yang sama. Ini memunculkan kecurigaan, siapa yang sebetulnya dibela pemerintah rakyat dan alam, atau korporasi tambang?
Rakyat Papua dan Aktivis Melawan
Penolakan terhadap tambang di Raja Ampat bukan hanya datang dari laporan pemerintah.
Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, secara terbuka mengeluhkan keterbatasan kewenangan daerah dalam mencabut izin tambang.
“Kami tidak bisa berbuat apa-apa. 97 persen wilayah kami konservasi, tapi izin tambang bukan kewenangan kami,” keluhnya.
Sementara itu, aktivis Greenpeace dan empat pemuda Papua berani menyuarakan protes secara langsung dalam forum nasional Indonesia Critical Minerals Conference 2025, Jakarta, Selasa (3/6). Mereka membentangkan spanduk bertuliskan:
“Nickel Mines Destroy Lives”
“Save Raja Ampat from Nickel Mining”
“What’s the True Cost of Your Nickel?”
Aksi mereka viral dan menampar keras wajah industri yang selama ini berlindung di balik jargon “green energy” tapi mengeksploitasi tanah adat dan merusak ekosistem yang tak tergantikan.
Presiden Harus Bertindak Lebih Jauh
Pencabutan IUP empat perusahaan ini adalah langkah penting, tapi belum cukup. Kejelasan hukum, pertanggungjawaban lingkungan, dan rehabilitasi wilayah rusak harus segera dikejar.
Pemerintah juga mesti mengevaluasi tumpang tindih regulasi pusat-daerah dan membentuk pengawasan independen untuk tambang di kawasan konservasi.
Publik kini menanti, apakah pencabutan ini menjadi awal dari keberpihakan nyata pada lingkungan dan masyarakat adat? Atau sekadar respons sementara di tengah tekanan politik dan opini publik?
Di negeri yang kaya akan nikel, emas, dan batu bara sering kali yang miskin justru rakyatnya, dan yang rusak adalah alamnya.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













