Publikbicara.com – Di suatu pagi yang sunyi pada tahun 1401 M, di tanah Kawali yang sejuk di Ciamis, Jawa Barat, lahirlah seorang bayi lelaki dari keturunan agung.
Namanya Dewataprana, putra dari Prabu Dewa Niskala dan cucu dari Raja Niskala Wastu Kancana.

Tak ada yang menyangka, bayi mungil itu kelak akan dikenal sebagai Prabu Siliwangi sang raja besar tanah Sunda, penjaga kearifan dan pelindung rakyatnya.
Sejak kecil, Dewataprana telah menunjukkan kebijaksanaan yang melampaui usianya. Ia belajar tentang adat, agama, dan strategi pemerintahan.

Ia menyelami ilmu kebatinan, memahami makna kehidupan dari para sesepuh, dan meresapi ajaran leluhur yang hidup dalam semesta.
Tahun demi tahun berlalu, dan pada awal dekade 1470-an, ketika badai politik melanda tanah Galuh dan Sunda, Dewataprana dinobatkan menjadi raja Kerajaan Galuh.
Kepemimpinannya membawa ketenangan. Namun sejarah belum selesai menuliskan namanya. Pada tahun 1482 M, ia dinobatkan pula sebagai Raja Sunda di Pakuan Bogor.

Dari dua kerajaan besar itu Galuh dan Sunda lahirlah Kerajaan Pajajaran, sebuah kerajaan megah yang dipersatukan oleh tangan seorang raja bijak.
Sebagai raja Pajajaran dari tahun 1482 hingga 1521 M, Prabu Siliwangi memerintah dengan keadilan dan kasih sayang.
Ia mengatur sistem perundang-undangan, memperkuat pertahanan kerajaan, serta menjaga keseimbangan antara tradisi dan perubahan zaman.

Rakyatnya hidup dalam kemakmuran. Ia tidak hanya dikenal sakti dan gagah berani, tetapi juga dikenal karena cintanya kepada rakyat dan tanah leluhur.
Di tengah gemuruh politik dan kepercayaan yang berkembang, Prabu Siliwangi memutuskan langkah besar, ia menikahi Subang Larang, seorang perempuan muslimah dan murid dari ulama besar Syekh Quro dari Karawang.
Pernikahan itu bukan sekadar ikatan cinta, tetapi juga jembatan antara kebudayaan Sunda dan ajaran Islam.

Dari Subang Larang lahir Raden Walangsungsang, Nyai Rara Santang, dan Raden Kiansantang, anak-anak yang kelak memilih jalan Islam dan menjadi tokoh penting dalam penyebaran agama di Nusantara.
Prabu Siliwangi, meski tetap teguh pada ajaran leluhurnya, tak pernah memaksakan kehendak.
Ia membebaskan anak-anaknya memilih jalan hidup, dan dari sinilah lahir nilai toleransi yang menjadi warisan tak ternilai.

Ia memahami bahwa kerajaan bukan hanya sekumpulan tanah dan tembok, tetapi juga jiwa dan keyakinan rakyatnya.
Namun, tak semua akhir adalah terang. Pada tahun 1521 M, ketika Islam mulai berkembang pesat di tanah Sunda dan kekuatan politik dari Cirebon dan Banten mulai mengguncang Pakuan, Prabu Siliwangi dan para pengikut setianya memilih jalan spiritual.
Dalam kisah yang disampaikan dari mulut ke mulut, dikatakan bahwa sang Prabu bersama pasukannya menghilang ke hutan Sancang, dan menjelma menjadi macan putih sebuah simbol kekuatan, kesetiaan, dan penjaga abadi tanah Sunda.

Kini, Prasasti Batutulis di Bogor masih berdiri kokoh, menjadi penanda masa kejayaan dan silsilah agung yang pernah berjaya.
Dalam kesunyian hutan, dalam bisikan angin dan dalam nyanyian alam, nama Prabu Siliwangi tetap hidup. Ia bukan sekadar raja. Ia legenda. Ia penjaga abadi bumi Pasundan.
Disclaimer: jika terjadi kekeliruan tidak lain karena masih keterbatasan akses literasi redaksi.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













