Publikbicara.com – Dalam perjalanan panjang kehidupan manusia, simbol dan sebutan bukan sekadar rangkaian kata, tetapi merupakan perwujudan nilai-nilai luhur yang membentuk karakter, budaya, dan peradaban.
Di antara simbol-simbol tersebut, muncul dua istilah penuh makna yakni, Singa Perbangsa dan Singa Dilaya.
Keduanya bukan hanya julukan, melainkan representasi dari dua pilar utama dalam kehidupan manusia dan bangsa. Kebangsaan dan keilmuan luhur.
Singa Perbangsa: Jiwa-jiwa yang Menjadi Penjaga Bangsa
Singa Perbangsa menggambarkan pribadi-pribadi yang memiliki hubungan mendalam dan spiritual dengan tanah airnya.

Mereka bukan hanya warga negara dalam arti administratif, tetapi menjadi penjaga nilai-nilai kebangsaan.
Mereka adalah orang-orang yang menghidupi Pancasila bukan sekadar sebagai dokumen konstitusional, tetapi sebagai panduan hidup.
Mereka membela keutuhan bangsa bukan karena diperintah, melainkan karena cinta yang lahir dari kesadaran akan akar budaya, sejarah, dan takdir kolektif bangsanya.
Seperti singa yang dikenal sebagai pemimpin di rimba belantara, Singa Perbangsa adalah sosok-sosok yang berdiri gagah di tengah tantangan zaman, memimpin dengan keteladanan, dan menjaga persatuan di atas segala perbedaan.
Dalam diri mereka, nasionalisme bukan slogan, tapi sikap hidup yang menyatu dalam tindakan sehari-hari.
Singa Dilaya: Penjunjung Tinggi Kemuliaan Ilmu
Sementara itu, Singa Dilaya adalah mereka yang memegang teguh ilmu adi luhung, ilmu yang tidak hanya mencerdaskan pikiran, tetapi juga memuliakan jiwa.
Ilmu yang tidak dipakai untuk menaklukkan, tetapi untuk melayani, bukan untuk meninggikan ego, tetapi untuk merendahkan hati di hadapan kebenaran semesta.
Singa Dilaya adalah para bijak bestari, para guru, para pemikir, dan para pencari makna yang menjunjung tinggi kemuliaan nilai-nilai universal.
Mereka memahami bahwa ilmu sejati adalah cahaya yang membebaskan manusia dari kegelapan kebodohan dan keserakahan.
Dalam tradisi Timur, mereka adalah para “pandita”, para “resi”, yang membimbing bukan dengan paksaan, tetapi dengan keteladanan dan keheningan.
Menyatunya Perbangsa dan Dilaya: Menuju Manusia Paripurna
Dalam harmoni, Singa Perbangsa dan Singa Dilaya seharusnya tidak dipisahkan. Jiwa kebangsaan yang tulus tanpa ditopang oleh kebijaksanaan bisa menjadi fanatisme yang buta.
Sebaliknya, keilmuan tanpa kecintaan pada bangsa bisa menjelma menjadi intelektualisme yang kering dan tidak membumi.
Maka, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu melahirkan manusia-manusia yang sekaligus menjadi Singa Perbangsa dan Singa Dilaya. Pejuang yang berilmu, dan cendekia yang mencintai bangsanya.
Di era modern yang serba cepat dan individualistik, kita ditantang untuk kembali menggali makna terdalam dari kebangsaan dan keilmuan.
Menjadi Singa Perbangsa berarti menjaga warisan leluhur, menjadi tembok pelindung kedaulatan, dan penggerak peradaban.
Menjadi Singa Dilaya berarti menjadikan ilmu sebagai jalan kesadaran, bukan sekadar alat pencapaian duniawi.
Karena pada akhirnya, kejayaan bangsa tidak lahir dari kekuatan materi semata, tetapi dari pribadi-pribadi yang hidup dalam kedalaman makna.
Mereka yang menjaga tanah air dengan hati, dan menerangi jalan bangsa dengan cahaya ilmu. Jasinga, (23/05/2025) Putra Pandu.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













