Publikbicara.com – Di sebuah negeri yang katanya berdaulat, berderet bangku kuliah menjadi saksi bisu lahirnya ribuan pemuda berjas almamater, di mana harapan digantungkan dan perubahan dijanjikan.
Mereka disebut agent of change, agen perubahan tapi kini istilah itu seperti daun tua di musim gugur yang mengering, rapuh, lalu gugur perlahan, ditinggalkan maknanya.
Di tengah-tengah kota yang mulai renta oleh kompromi dan janji-janji kosong, ada yang menyebut mereka sebagai “sumbu pendek.
Bukan karena keberanian yang meledak cepat, tapi karena amarah yang mudah menyala tanpa arah.
Di jalanan, di media sosial, di ruang-ruang diskusi yang dulu hangat oleh idealisme, kini ramai oleh suara-suara gaduh yang memperjuangkan ego, bukan bangsa.
Adalah Borjuis, seorang pembelajar tingkat akhir, yang dulu pernah memimpin aksi dengan suara lantang dan dada penuh bara semangat.
Kini ia duduk di kafe, menatap layar laptop sambil mengetik isu yang diusung perkumpulan organisasi padepokannya dengan sebuah tujuan cawe-cawe (kepentingan pribadi dan kelpok sesaat).
Bukan untuk rakyat, bukan untuk perubahan, tapi untuk logistik acara dan kegiatan, serta mungkin sisanya hanya untuk jatah amplop tipis di akhir kegiatan.
“Aku hanya bermain sesuai sistem,” kata Borjuis pada Kapitalis, kawannya sejak ospek.
Kapitalis hanya tersenyum getir. Ia ingat dulu mereka berteriak bersama, menyuarakan reformasi birokrasi dan menolak komersialisasi pendidikan. Kini, suara Borjuis jadi datar, dan janjinya pun kehilangan warna.
“Integritasmu hilang di mana, Bor?” Borjuis diam. Ia tahu jawabannya. Di pertemuan-pertemuan penuh janji jabatan, di balik meja makan para elite yang menawarkan lebih dari sekadar perubahan.
Di luar kafe, langit mendung menggantung rendah. Negara ini memang sedang butuh berbenah.
Tapi bagaimana bisa kalau yang disebut generasi penerus justru memoles topeng yang sama dengan generasi yang mereka kritik?
Dulu, semangat membakar. Kini, hanya sumbu yang pendek, mudah meledak, lalu padam begitu saja, meninggalkan abu.
Dan di tengah reruntuhan idealisme itu, rakyat menunggu. Bukan pada mereka yang bersuara paling keras, tapi pada mereka yang tetap setia pada nurani.
Apakah kamu masih ada di sana? Disclaimer: ini hanya sebatas cerpen fiksi yang intisarinya diangkat dari fenomena sosial.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













