Publikbicara.com – Setiap tanggal 1 Mei, dunia bersolek merah menyambut May Day—Hari Buruh Internasional.
Spanduk maupun flayer elektronik dibentangkan, seakan slogan kelantangan, seakan jadi panggung peringatan megah.

Tapi di balik gegap gempita perayaan, ada ironi yang mencolok, substansi perjuangan kian kabur.
Dan sementara esensinya digilas oleh selebrasi seremonial yang makin kehilangan makna.
May Day bukan sekadar hari libur. Ia lahir dari darah dan peluh para buruh yang pada 1 Mei 1886 turun ke jalan di Chicago.

Mereka menuntut hak dasar atas jam kerja layak, upah manusiawi, dan tempat kerja yang aman.
Namun lebih dari satu abad berselang, kita masih menyaksikan wajah-wajah letih buruh yang terlupakan sistem.
Terutama buruh tani di pedesaan yang bahkan tak memiliki lahan untuk digarap di negeri agraris yang katanya subur ini.

Ironisnya, tiap May Day justru makin tampak seperti panggung gimik politik dan agenda kepentingan elit.
Di kota-kota, parade dan orasi diselenggarakan oleh mereka yang lebih sibuk memoles citra dibanding memperjuangkan perubahan struktural.
Di desa-desa, suara buruh tani terbenam dalam sunyi, jauh dari hingar-bingar mikrofon perayaan.

Eksploitasi bukan hanya terjadi di pabrik atau sawah. Ia kini juga merasuk dalam bentuk yang lebih halus eksploitasi simbolik atas perayaan itu sendiri.
Buruh dijadikan ikon sejenak, hanya untuk dilupakan begitu hari berganti.
May Day seharusnya menjadi momen perenungan mendalam tentang ketimpangan dan perjuangan kelas.

Bukan sekadar perayaan peringatan tahunan yang berakhir tanpa perubahan.
Sudah saatnya kita bertanya, apakah kita benar-benar memperingati Hari Buruh, atau justru mengubur semangatnya di balik euforia yang semu?

Jasinga, 1 Mei 2025, Ra Dien Khaerudin. Jaringan Kebudayaan Rakyat.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













