Publikbicara.com – Malam merayap perlahan di kota, menyelinap di antara gedung-gedung tua dan jalanan yang mulai sepi.
Di sebuah sudut Jakarta, di dalam gedung megah Perpustakaan Nasional, sebuah buku tua berusia lebih dari satu setengah abad tersimpan rapi di rak-rak sunyi.
Kertasnya sudah menguning, aromanya khas buku lama yang sarat sejarah. Judulnya: A Dictionary of the Sunda Language of Java.
Karya ini ditulis oleh Jonathan Rigg pada tahun 1862, di wilayah Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor, dan entah bagaimana, ia masih bertahan hingga kini.

Di tempat lain, jauh di kota Bandung yang berudara sejuk, seorang pria bernama Atep Kurnia menatap rak bukunya dengan tatapan penuh makna.
Di antara ratusan buku lain, ada satu yang menarik perhatiannya—kamus yang sama. Ia membolak-balik halamannya, meresapi setiap kata, seolah sedang berbincang dengan masa lalu.
Malam itu, ia berbicara kepada tim penelusuran Jaringan Kebudayaan Rakyat Bogor melalui perpesanan WhatsApp.
“Di Bandung, antara lain ada di koleksi Rumah Baca Buku Sunda,” ucapnya dengan nada tenang.

Tak hanya itu, Atep pun menambahkan, “Kemungkinan yang asli itu dicetak banyak. Itu salah satu terbitan Bataviasch Genootschap sebagai bagian dari Verhandelingen-nya.”
Jonathan Rigg. Nama yang mungkin tak banyak dikenal, namun jejaknya terukir dalam sejarah. Tahun 1830, ia memiliki tanah di Jasinga, sebuah wilayah yang kini masuk Kabupaten Bogor.
Dari sanalah ia mulai menulis, mengisi jurnal-jurnal ilmiah di Hindia Belanda dan Singapura.
Sepuluh artikelnya terbit antara tahun 1837 hingga 1853, membahas geologi, perjalanan, etnografi, hingga epigrafi. Namun, namanya perlahan memudar, tertutup oleh riuhnya sejarah yang lebih besar.
Kini, Atep sedang menggarap sebuah buku tentangnya, mencoba menghidupkan kembali sosok yang nyaris terlupakan itu.

Melalui tulisan-tulisannya di bandungbergerak.id, ia menggali kembali jejak sang peneliti.
Buku tua itu bukan sekadar kumpulan kata dan makna. Ia adalah potret masa lalu, cerminan zaman di mana bahasa Sunda diteliti dan didokumentasikan dengan penuh ketelitian.
Keberadaannya di Jakarta dan Bandung menjadi simbol bahwa warisan intelektual masih memiliki tempat di dunia yang semakin cepat berubah.
Namun, di tengah gempuran teknologi dan modernisasi, akankah generasi mendatang masih menemukan nilai dalam kamus ini?
Ataukah ia hanya akan menjadi benda usang yang terlupakan di sudut rak? Mungkin, jawabannya ada pada kita—pada seberapa besar kita ingin menjaga warisan ini tetap hidup.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













