Publikbicara.com – Perayaan Idul Fitri 1446 Hijriah di berbagai negara berlangsung dengan perbedaan tanggal yang cukup mencolok.
Sejumlah negara Arab telah menetapkan Hari Raya Lebaran pada Minggu, 30 Maret 2025, sementara pemerintah Indonesia menetapkan 1 Syawal jatuh pada Senin, 31 Maret 2025.
Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan metode penentuan hilal yang digunakan di masing-masing negara.
Menurut Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin, beberapa negara Arab menggunakan kalender Ummul Qura yang digunakan Arab Saudi, di mana kesaksian individu yang melihat hilal langsung diterima oleh otoritas setempat.
“Sehingga mereka memutuskan Idul Fitri pada 30 Maret,” ujarnya kepada Tempo, Ahad, 30 Maret 2025.
Sementara itu, di Indonesia, pada petang 29 Maret, posisi bulan masih berada di bawah ufuk sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan rukyat atau pengamatan hilal.
Dengan demikian, pemerintah melalui sidang isbat menetapkan Idul Fitri pada Senin, 31 Maret 2025.
Otoritas keagamaan di Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Bahrain telah menyatakan hilal 1 Syawal terlihat pada Sabtu, sehingga mereka menetapkan Idul Fitri pada Minggu, 30 Maret 2025.
Hal yang sama juga terjadi di Palestina, Sudan, Yaman, dan Lebanon. Namun, di negara lain seperti Oman, Mesir, dan Suriah, Idul Fitri baru akan dirayakan pada Senin, 31 Maret 2025, karena hilal tidak terlihat di wilayah tersebut.
Di Indonesia, sebagian masyarakat turut merayakan Idul Fitri lebih awal dengan menggelar salat Id pada 30 Maret 2025, mengikuti rukyat global.
“Rukyat global adalah pengamatan hilal di mana saja, misalnya di Arab Saudi, yang dianggap berlaku secara global,” kata Thomas.
Namun, ia menegaskan bahwa tidak ada lembaga yang secara resmi menetapkan rukyat global. “Karena belum ada otoritas global, maka konsep rukyat global tidak ada yang menetapkan,” tambahnya.
Pemerintah Indonesia Tetap Berpegang pada Metode Rukyat Lokal
Pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam tetap menggunakan metode rukyat dan hisab di wilayah masing-masing sebagai dasar dalam menetapkan awal bulan hijriah.
Kesaksian para pengamat hilal yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia menjadi acuan utama dalam sidang isbat.
“Tidak boleh merujuk negara-negara di sebelah barat yang hilalnya lebih tinggi dan elongasinya lebih besar,” jelas Thomas.
Meskipun demikian, ia mengimbau masyarakat untuk tetap menghormati perbedaan pandangan dan keyakinan dalam penetapan Lebaran.
“Pada sebagian warga di Indonesia yang lebih dulu Lebaran, masyarakat lainnya diharapkan untuk saling menghormati,” tutupnya.
Perbedaan waktu Lebaran memang kerap terjadi, namun semangat persatuan dan saling menghormati tetap menjadi nilai utama dalam merayakan hari kemenangan ini.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













