Publikbicara.com – Bogor, 15 Maret 2025, Kabut tebal menyelimuti perbukitan ketika pria itu melangkah.
Usianya tak lagi muda, rambutnya mulai memutih, tapi tangannya masih kokoh menggenggam cangkul dan lampu kepala.
Di sepanjang jalan tanah yang terjal, ia menyusuri jejak yang sudah berulang kali dilewati, menuju lubang gelap di perut bumi.
Di desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, di wilayah Kabupaten Bogor yang subur, aktivitas itu berlangsung tanpa banyak suara.
Mereka menyebutnya tambang yang disebut aturan hukum itu ilegal.

Namun bagi pria senja itu, ini bukan soal hukum atau larangan, melainkan tentang bagaimana ia bisa membawa pulang beras untuk anak dan istrinya.
“Kalau bukan begini, mau makan apa?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Sabtu (15/03/2025).
Tidak hanya diantara jalan terkal, di ketahui di dalam lubang tambang yang sempit dan pengap, banyak bekerja dalam diam.

Hanya suara batu yang pecah dan sesekali batuknya yang memecah keheningan.
Ia tahu risikonya setiap hari, berita tentang tanah longsor atau orang orang tertimbun menghantuinya. Tapi tak ada pilihan lain.
Negeri ini katanya merdeka. Tapi mengapa ia masih harus bertaruh nyawa untuk hidup?
Di luar sana, orang-orang berdasi berbicara tentang ekonomi, pertumbuhan, dan kesejahteraan.

Sementara di sini, pria senja dan ratusan lainnya hanya berharap bisa pulang dengan selamat dan membawa cukup hasil untuk sekadar bertahan.
Siang ini, ketika artikel ini ditulis, kabut kembali turun menyelimuti, pria senja itu melangkah pulang, tubuhnya lelah, tapi hatinya lega.
Setidaknya, untuk hari ini, ia masih bisa membawa sesuatu untuk keluarganya. Besok, cerita yang sama akan terulang. Sampai kapan? Ia pun tak tahu.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













