Publikbicara.com – BOGOR, Lima belas tahun menghilang dari peradaban kota, ia kembali bukan sebagai mahasiswa biasa, melainkan sebagai legenda.
Muhammad Kasim Arifin, lelaki berkulit legam yang pernah menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB), pulang ke kota hanya dengan sandal jepit dan baju lusuh.
Namun, sambutan yang ia terima bak pahlawan yang baru saja menuntaskan perjuangan di garis depan.
Kisahnya menyentuh hati. Ia diabadikan dalam puisi, namanya menjadi inspirasi yang tak pernah kering.
Hari itu, 22 September 1979, di Hotel Salak, Bogor, Kasim dikelilingi teman-temannya.
Mereka membawakan sepatu dan jas untuknya, tetapi ia menolak. Ia tetap ingin menjadi dirinya sendiri—sederhana dan bersahaja.
Lahir di Langsa, Aceh, pada 18 April 1938, Kasim adalah mahasiswa IPB yang terpilih mengikuti Program Pengerahan Mahasiswa—cikal bakal Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Pada tahun 1964, ia dikirim ke Waimital, sebuah desa terpencil di Pulau Seram, Maluku.
Di sana, ia bertemu dengan keluarga petani miskin, para transmigran yang berjuang mengolah tanah baru.
Dedikasi di Waimital: Dari Mahasiswa Menjadi Antua
Seharusnya ia hanya bertugas selama tiga bulan. Namun, nuraninya berkata lain. Kasim melihat petani berjuang dalam keterbatasan, dan ia merasa tidak bisa pergi begitu saja.
Ia menanggalkan identitasnya sebagai mahasiswa kota, mengenakan baju lusuh, dan berjalan kaki 20 kilometer setiap hari bersama para petani.
Ia tidak hanya mengajarkan teknik bertani yang ia pelajari di IPB, tetapi juga membangun semangat gotong royong.
Bersama masyarakat, ia membuka jalan desa, membuat irigasi, dan mengolah lahan pertanian. Ia tak menunggu bantuan pemerintah—ia bertindak.
Pengabdiannya membuatnya dihormati. Masyarakat Waimital memanggilnya Antua, sebutan untuk orang yang dihormati.
Selama 15 tahun, ia hidup sebagai bagian dari mereka, melebur dalam perjuangan petani, melupakan kehidupan kota, dan bahkan mengabaikan panggilan orang tuanya di Aceh serta permintaan Rektor IPB, Prof. Andi Hakim Nasution, untuk kembali menyelesaikan kuliahnya.
Kembali ke Kampus dengan Sandal Jepit
Rektor IPB akhirnya mengutus sahabat Kasim, Saleh Widodo, untuk menjemputnya. Dengan berat hati, Kasim pulang ke Bogor.
Ia memasuki kampus IPB dengan ragu-ragu, mengenakan sandal jepit dan baju lusuh. Namun, ketika ia datang untuk wisuda, semua orang berdiri dan bertepuk tangan.
Ia tidak pernah membuat skripsi. Namun, teman-temannya mencatat kisah perjuangannya selama 28 jam, dan kisah itu dijadikan skripsinya.
Ia lulus bukan karena angka di transkrip nilai, tetapi karena dedikasinya yang melampaui akademik.
“Dia insinyur pertanian paling istimewa, paling menyentuh hati, dan paling menjulang dibandingkan yang lain,” ujar rekan-rekannya.
Setelah Wisuda: Kembali ke Pengabdian
Meski telah menyandang gelar, Kasim tidak tertarik menjadi pejabat atau akademisi yang mengejar jabatan. Ia kembali ke Waimital untuk melanjutkan perjuangannya.
Baru setelah beberapa waktu, ia menerima tawaran Universitas Syiah Kuala, Aceh, untuk menjadi dosen hingga pensiun pada tahun 1994.
Namanya tetap harum di Waimital, bahkan diabadikan menjadi nama jalan.
Pada tahun 1982, ia menerima penghargaan Kalpataru dari pemerintah.
Namun, alih-alih merayakan, ia justru meninggalkan penghargaan itu begitu saja di bawah kursi. Baginya, penghargaan bukan tujuan.
Ketika ditawari kesempatan studi banding ke Amerika Serikat, ia menolak.
“Untuk apa saya ke Amerika yang memiliki tradisi pertanian berbeda dengan di sini?” katanya.
Kasim Arifin: Inspirasi yang Tak Pernah Padam
Di tengah generasi muda yang berlomba-lomba mengejar karier di dunia bisnis, menjadi staf menteri, atau mendapatkan jabatan di BUMN, Kasim adalah oase di tengah dahaga idealisme.
Ia memilih jalan berbeda—mengabdi untuk petani, menjaga bumi, dan menanam harapan.
Kisahnya bahkan diabadikan dalam buku Seorang Lelaki dari Waimital yang ditulis oleh Hanna Rambe pada tahun 1983.
Penyair Taufiq Ismail pun menulis puisi yang mengharukan tentangnya, dengan salah satu bait berbunyi:
“Di Waimital, Kasim mencetak harapan Di kota, kami mencetak keluhan”
Muhammad Kasim Arifin adalah bukti bahwa pengabdian sejati tidak membutuhkan panggung atau tepuk tangan.
Ia menemukan kebahagiaan dalam senyum petani, dalam tanah yang subur, dan dalam semangat gotong royong yang ia hidupkan.
Namanya tetap abadi—bukan hanya di Waimital, tetapi juga di hati mereka yang percaya bahwa kemuliaan sejati lahir dari kebermanfaatan bagi sesama. Dilansir dari berbagi sumber.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













