Publikbicara.com – Mungkin sedikit diantara Anda yang tahu bahwa pernah ada Kewedanaan Jasinga yang menjadi saksi bisu atas sejarah panjang Kabupaten Bogor.
Ya, Sejarah Kewedanaan Jasinga yang terkubur dalam oleh ketidak pedulian pemerintah yang acuh tak acuh dalam menjaga warisan sejarah dan budaya bangsa.
Seperti, keberadaan Pendopo Kewedanaan Jasinga yang kini hanya menyisakan puing-puing kayu yang rapuh, sisa dari kegagahan Pendopo Kewedanaan Jasinga.
Ya, Pendopo Kewedanaan Jasinga adalah saksi bisu yang sepatutnya diabadikan menjadi cagar budaya namun sirna entah kemana.
Padahal, Pendopo Kewedanaan Jasinga adalah ciri, betapa pendahulu kita bersusah payah merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Seperti kisah berikut, moment sebelum Bupati Pertama Kabupaten Bogor grilia dan sempat bermukim di wilayah Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Bogor.
Pada siang yang penuh ketegangan, tepat pukul 14.00 WIB, tanggal 22 Desember 1948, suasana di Pendopo Kewedanaan Jasinga terasa mencekam.
Pasalnya, hari itu adalah hari sebelum tentara Belanda melancarkan serangan keduanya ke pedalaman, ke desa-desa mencari para pejuang.
Hari itu adalah hari dimana Raden Ipik Gandamana, Bupati pertama Kabupaten Bogor Darurat, bersama tim setianya bersiap melakukan perlawanan grilia.
Raden Ipik Gandamana tidak sendiri dalam perjalanan ini. Didampingi oleh Patih R. E. Abdullah, Kepala Jabatan Penerangan E. M. Kahfie.
Ikut pula Kepala Bagian Perekonomian Bahrudin, serta Kepala Djawatan Bidang Sosial Tjetje Moh Sahah.
Mereka meninggalkan gedung Pendopo Kewedanaan Jasinga untuk masuk ke dalam hutan rimba di Bogor bagian barat.
Tujuan mereka jelas: menunaikan tugas mulia melawan agresi Belanda yang semakin gencar ketika itu, dan Kewedanaan Jasinga sementara dipegang oleh anak dari Embah Muhyiddin Parungsapi.
Tim Raden Ipik Gandamana ini tidak hanya sekedar menepi, melainkan mempersiapkan diri untuk sebuah perlawanan gerilya yang menjadi saksi bisu sejarah.
Salah satu tempat penepian mereka adalah Desa Malasari, sebuah desa yang menjadi bagian dari rencana besar mereka dalam mempertahankan tanah air dari cengkeraman penjajah.
Dengan keberanian yang luar biasa, Raden Ipik Gandamana dan para pejuang lainnya menunjukkan bahwa semangat perlawanan tidak pernah padam.
Meski berada di tengah hutan belantara sekalipun, Raden Ipik Gandamana tetap berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Namun sayang, selain hilangnya Pendopo Kewedanaan Jasinga, kisah-kisah heroik para pejuang kemerdekaan tidak pernah kembali dinarasikan. Meski pada momen kemerdekaan sekalipun.***