Publikbicara.com – Kementerian Dalam Negeri resmi menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara selama tiga bulan kepada Bupati Aceh Selatan, Mirwan MS, setelah terbukti melakukan perjalanan umrah tanpa izin saat wilayahnya berstatus tanggap darurat bencana. Keputusan tersebut diambil berdasarkan hasil pemeriksaan Inspektorat Jenderal yang menyatakan Mirwan melanggar Pasal 76 ayat (1) huruf i UU Nomor 23 Tahun 2014, yang melarang kepala daerah bepergian ke luar negeri tanpa izin Mendagri.
Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian menegaskan bahwa sanksi tersebut bukan keputusan subjektif, tetapi merupakan pelaksanaan aturan dalam Pasal 77 ayat (2) UU yang sama, yang mengatur pemberhentian sementara selama tiga bulan bagi kepala daerah yang melakukan perjalanan luar negeri tanpa izin.
“Ini bukan suka-sukanya Mendagri. Ada dasar hukum yang jelas, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014,” ujar Tito dalam konferensi pers di Kantor Kemendagri, Jakarta, Selasa (9/12/2025).
Selama masa pemberhentian, Wakil Bupati Aceh Selatan Baital Mukadis ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Bupati. Mirwan juga diwajibkan mengikuti program pembinaan dan magang di Kemendagri.
Tito menilai keberangkatan kepala daerah dalam situasi darurat bencana merupakan tindakan yang tidak tepat, karena masyarakat sangat membutuhkan kehadiran serta kepemimpinan langsung. Untuk itu, ia telah mengeluarkan imbauan agar seluruh kepala daerah tidak meninggalkan wilayah hingga 15 Januari 2026, mengingat potensi bencana hidrometeorologi masih tinggi.
“Saya sudah keluarkan surat edaran agar kepala daerah tidak meninggalkan tempat dan tidak ke luar negeri sampai tanggal 15 Januari. Harus standby, terutama yang terdampak,” tegasnya.
Selain itu, Mendagri meminta kepala daerah memastikan penggunaan anggaran bantuan pusat sebesar Rp4 miliar benar-benar menyentuh kebutuhan paling mendesak masyarakat terdampak. Ia mencontohkan kebutuhan spesifik seperti popok, sabun, hingga detergen yang seringkali tidak dapat dipenuhi dari bantuan pusat.
UU Nomor 23 Tahun 2014 sendiri membedakan sanksi pemberhentian sementara dengan proses pemberhentian tetap. Untuk pemberhentian dari jabatan, DPRD harus menggelar rapat paripurna dengan kehadiran minimal 3/4 anggota dan persetujuan 2/3 peserta rapat, kemudian mengusulkan hasilnya ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan pertimbangan. (Red).
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow












