Publikbicara.com – “Semakin tinggi, semakin merunduk.” Pepatah tua tentang ilmu padi itu mengajarkan satu prinsip luhur orang berilmu sejati akan tampil rendah hati, jarang berkoar, dan penuh pertimbangan dalam bertindak maupun berbicara. Sayangnya, nilai itu kini seolah lenyap di era media sosial yang gaduh.
Dalam ruang publik digital, justru kebalikannya yang terjadi. Semakin sedikit tahu, semakin lantang bersuara.
Fenomena ini bukan tanpa penjelasan ilmiah. Psikologi mengenalnya sebagai Efek Dunnin Kruger sebuah bias kognitif di mana orang dengan pengetahuan dangkal cenderung merasa paling tahu dan percaya diri dalam beropini, bahkan soal hal-hal yang rumit dan teknis.
Dengan hanya membaca judul berita, seseorang sudah merasa layak menyusun argumen panjang lebar.
Tanpa pemahaman yang utuh, mereka dengan mudah membentuk opini, membagikannya, bahkan menuding orang lain seolah paling benar.
Di sisi lain, orang-orang yang menguasai data dan hasil riset cenderung diam, berhati-hati, dan enggan ikut dalam keramaian debat yang penuh asumsi.
Akibatnya, media sosial dipenuhi kebisingan argumen kosong. Bukan hanya menyesatkan, tapi juga berbahaya.
Ekosistem digital perlahan terbentuk atas dasar Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian (DFK). Dan dari sanalah akar dari berbagai konflik sosial dan polarisasi hari ini.
Padahal, jika kita mau menoleh sejenak ke prinsip ilmu padi, kita akan mengerti bahwa bukan suara keras yang menandakan kebenaran, tetapi kedalaman pengetahuan dan ketulusan menyampaikan.
Era digital membutuhkan lebih banyak orang yang merunduk karena penuh, bukan yang menjulang karena kosong.
Maka, sebelum jari mengetik status atau komentar, barangkali kita perlu bertanya pada diri sendiri: “Apakah ini dari pemahaman, atau hanya sekadar reaksi?***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













