Publikbicara.com– Iran mengeluarkan ancaman serius akan menutup Selat Hormuz sebagai respons atas serangan udara Amerika Serikat terhadap tiga situs nuklir strategis milik Iran, yakni Fordow, Natanz, dan Isfahan.
Langkah ini langsung memicu kekhawatiran global, terutama terkait potensi lonjakan harga minyak dan gejolak ekonomi dunia.
Ketiga lokasi tersebut, menurut laporan CNBC, merupakan pusat vital program nuklir Iran yang selama ini menjadi sorotan dunia internasional.
Serangan terhadap situs-situs itu menyebabkan harga minyak mentah Brent melonjak tajam hingga 11% dalam sepekan terakhir, menembus angka USD 80 per barel atau sekitar Rp1,31 juta fluktuasi yang dipicu ketegangan geopolitik yang semakin memanas.
Selat Hormuz sendiri merupakan jalur laut tersibuk untuk distribusi minyak dunia. Data dari U.S. Energy Information Administration (EIA) menunjukkan bahwa lebih dari 20 juta barel minyak per hari atau sekitar USD 600 miliar (Rp9.846 triliun) nilai perdagangan energi per tahun melintasi selat ini.
Gangguan sedikit saja di wilayah ini diyakini akan memberikan guncangan besar terhadap pasar energi global.
“Iran merupakan produsen terbesar ketiga di OPEC+, menyumbang hampir sepertiga produksi global. Jika mereka benar-benar menutup Hormuz, harga minyak bisa menembus USD 100 per barel,” ujar Saul Kavonic, analis energi dari MST Marquee.
Di Washington, langkah militer Amerika dilakukan tanpa persetujuan Kongres, memanfaatkan wewenang eksekutif Presiden sebagai panglima tertinggi militer.
Namun, hingga saat ini belum ada keputusan resmi menyangkut aksi militer jangka panjang terhadap Iran, yang berpotensi memicu konflik berskala lebih luas.
Ketidakpastian ini menciptakan tekanan terhadap berbagai sektor industri, mulai dari penerbangan, pemasaran minyak, hingga inflasi domestik di berbagai negara.
Santanu Sengupta dari Goldman Sachs menyebutkan bahwa setiap kenaikan USD 10 per barel bisa menambah beban inflasi sebesar 30–40 basis poin.
OPEC dijadwalkan menggelar pertemuan penting pada 5 Juli mendatang, dengan agenda mempertimbangkan kembali peningkatan produksi minyak pada Agustus.
Sebelumnya, kelompok ini telah menaikkan pasokan hingga 4,11 juta barel per hari selama dua bulan terakhir.
Namun, jika Iran melanjutkan ancaman menutup Hormuz, keputusan itu dikhawatirkan tidak akan berdampak signifikan dalam meredam lonjakan harga.
Meskipun ketegangan meningkat, pasar juga membuka ruang pada kemungkinan de-eskalasi.
Sejumlah analis mengingatkan pada insiden serupa seperti serangan ke fasilitas Abqaiq di Arab Saudi pada 2019 yang sempat melumpuhkan pasokan namun berhasil dipulihkan dalam waktu singkat.
Saat ini, dunia menanti langkah selanjutnya dari Iran. Apakah ancaman penutupan Selat Hormuz akan benar-benar dilakukan, atau menjadi kartu tekanan diplomatik terhadap Barat.
Satu hal yang pasti, stabilitas harga energi dunia kini berada di ujung ketegangan geopolitik yang belum menunjukkan tanda mereda.
Dengan efek domino yang melibatkan negara-negara produsen dan konsumen energi, langkah selanjutnya dari Teheran maupun Washington akan menjadi penentu utama arah ekonomi global dalam beberapa bulan ke depan.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













