Publikbicara.com – Dalam tradisi sastra Melayu, sampiran dikenal sebagai dua baris pertama dalam pantun.
Ia berfungsi sebagai pengantar atau pembuka, yang membangun suasana dan menyiapkan rima untuk baris isi yang menyusul.
Biasanya, sampiran berisi kiasan-kiasan tentang alam, gambaran kehidupan sehari-hari, atau permainan kata yang berfungsi menarik perhatian dan membentuk irama.
Namun di tangan para pegiat literasi dari Jasinga, Bogor, istilah “Sampiran” mendapat makna baru yang jauh lebih luas dan mendalam.

“Sampiran Literasi” bukan sekadar istilah puitis, melainkan sebuah gerakan sadar yang memadukan sastra, pemikiran kritis, dan tindakan nyata di masyarakat.
Sampiran Literasi. Bukan lagi hanya pengantar pantun, tetapi sebagai pengantar perubahan.
Dalam konteks gerakan ini, Sampiran adalah akronim dari filosofi hidup yakni “Sadar Akan Makna, bahwa Pemikiran dan Kata-kata saja Tidak akan Berguna tanpa Selaras dengan Perbuatan.”

Ini bukan sekadar permainan bahasa, melainkan sebuah panggilan untuk hidup lebih reflektif dan bertanggung jawab.
Literasi tidak berhenti di kemampuan membaca, menulis, atau berhitung. Literasi sejati adalah tentang pemahaman, kesadaran, dan tindakan.
Di mana, .akna ini mengajak kita merenung, Apakah literasi cukup hanya dengan bisa membaca dan menulis?
Ternyata tidak. Literasi sejati adalah kemampuan memahami, meresapi, lalu menerjemahkannya dalam tindakan nyata di kehidupan sehari-hari.
Gerakan Sampiran Literasi mengajak masyarakat untuk tidak hanya menjadi pembaca yang aktif, tetapi juga pelaku yang berdaya.
Kata-kata harus menjelma menjadi perbuatan. Pemikiran harus diterjemahkan menjadi perubahan. Sareng Masyarakat adalah Literasi yang Membumi.
Uniknya, Sampiran dalam gerakan ini juga mengandung unsur bahasa Sunda, yakni “sareng masyarakat” yang berarti bersama masyarakat.
Hal ini memperkuat pesan bahwa gerakan literasi tidak boleh eksklusif. Ia harus hadir dan tumbuh di tengah masyarakat, bersama masyarakat, dan untuk masyarakat.
Melalui kegiatan diskusi, pembacaan puisi, bedah buku, hingga aksi sosial, gerakan ini ingin membangun pola pikir yang kritis, kreatif, dan kolaboratif.

Literasi tidak lagi hanya milik sekolah atau perpustakaan, tapi menjadi milik warung kopi, pendopo desa, bahkan sawah dan ladang.
Gerakan Sampiran Literasi adalah contoh nyata bagaimana nilai-nilai dalam kata bisa menjelma menjadi kekuatan perubahan.
Dengan menggandeng masyarakat dan menggali budaya lokal, gerakan ini membuktikan bahwa pendidikan bisa berjalan dari bawah ke atas, dari warga untuk warga.
Dalam dunia yang kian digital dan serba cepat, Sampiran Literasi menjadi pengingat bahwa kata-kata masih memiliki tempat yang suci asal disertai perbuatan.

Dalam setiap bait pantun atau kata-kata ada pesan. Dalam setiap diskusi, ada benih perubahan. Dan dalam setiap tindakan, ada harapan.
Gerakan ini mengajarkan bahwa literasi adalah jalan untuk menjadi manusia seutuhnya yang berpikir, merasa, dan bertindak secara selaras.
Dari Kata ke Karsa: “Sampiran” yang dulu hanya dianggap sebagai pelengkap pantun, kini menjelma menjadi simbol kesadaran baru.
Ia menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, antara kata dan karsa, antara individu dan masyarakat.
Jika selama ini kita hanya mengagumi keindahan pantun, kini saatnya kita menghidupi maknanya.
Karena pada akhirnya, literasi bukan tentang seberapa banyak buku yang kita baca, tapi seberapa dalam makna yang kita hayati dan wujudkan dalam tindakan.
Dari Kata ke Aksi, dari Aksi ke Perubahan, Ya, Kita semua adalah bagian dari Sampiran dalam kehidupan.
Bisa jadi hanya pembuka kecil, tapi memiliki peran besar dalam mengantarkan pesan, membentuk irama perubahan, dan memberi arah pada isi kehidupan.
Mari kita hidupkan makna literasi. Bukan hanya dengan membaca dan menulis, tapi dengan berpikir kritis, berucap bijak, dan bertindak nyata.
Karena sesungguhnya, pendidikan yang bermakna lahir dari kata yang dihayati dan perbuatan yang dijalani.***
Ra Dien: 22/06/2025.
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













