Beranda News Ketika Langit Tak Lagi Biru: Getirnya Abu dari Lewotobi

Ketika Langit Tak Lagi Biru: Getirnya Abu dari Lewotobi

Publikbicara.com – Pagi itu, matahari seperti ragu untuk menyapa. Di langit Flores Timur, bukan cahaya yang menyambut, melainkan tirai kelabu yang pekat, abu dari perut bumi yang mengamuk.

Gunung Lewotobi Laki-laki, raksasa purba di Kabupaten Flores Timur, kembali batuk.

Tapi kali ini bukan hanya batuk kecil. Selasa sore, 17 Juni 2025, ia menghembuskan kolom abu yang menjulang setinggi langit, 10 hingga 11 kilometer, membawa murka dan ketakutan ke rumah-rumah sederhana di Sikka dan Ende.

READ  Kontroversi Penulisan Ulang Sejarah: Legislator Minta Proyek Dihentikan Jika Sarat Kepentingan Politik

Di Desa Darat Pantai, Kecamatan Talibura, Yoseph Nunez masih ingat persis pukul 19.50 WITA.

“Hujan abu turun sangat deras,” katanya, dengan suara yang masih dilapisi getir.

“Atap rumah kami tertutup tebal, sampai masuk lewat jendela dan ventilasi. Bangun pagi, halaman rumah sudah penuh debu.”

READ  Kontroversi Penulisan Ulang Sejarah: Legislator Minta Proyek Dihentikan Jika Sarat Kepentingan Politik

Tak ada dentuman. Tak ada kilatan peringatan. Hanya gumaman panjang dari kaki langit, lalu sunyi disambut abu. Panik datang diam-diam.

Albertus, warga Kota Ende, merasa kecolongan oleh alam. “Kami pikir di Ende aman. Ternyata pagi-pagi halaman rumah sudah tertutup abu,” katanya sambil menunjukkan masker yang dikenakan anaknya.

Ia bahkan menutup seluruh ventilasi rumahnya dengan kain basah agar abu tak masuk. Tapi udara di luar sudah tak bisa dipercaya.

READ  Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki Ganggu Jadwal Penerbangan: 32 Penerbangan di Bandara Ngurah Rai Dibatalkan

 

Bagi warga Flores Timur, Sikka, dan Ende, ini bukan hanya soal pemandangan yang berubah. Ini tentang napas yang berat, air bersih yang terancam, dan musim tanam yang digerus ketidakpastian.

Di desa-desa, lahan pertanian seperti ditaburi debu kematian. Daun-daun tanaman merunduk, tak kuat menahan beban kelabu.

Saluran air menghitam, dan suara burung-burung lenyap entah ke mana. Di jalan-jalan desa, langkah kaki anak-anak menjadi lambat; sekolah mereka dibungkus abu.

READ  Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki Ganggu Jadwal Penerbangan: 32 Penerbangan di Bandara Ngurah Rai Dibatalkan

PVMBG sudah menetapkan status Awas. Radius bahaya kini delapan kilometer dari kawah. Tapi ancaman sejatinya meluas lewat udara: ke paru-paru, ke ketakutan, ke ketidakpastian hari esok.

Bupati Sikka, Juventus Prima Yoris Kago, cepat tanggap. Lewat surat imbauan resmi bernomor Kominfo 500.14/42/VI/2025, ia mengajak warga agar waspada.

“Gunakan masker, kacamata pelindung, dan penutup kepala,” tulisnya. Ia minta warga melindungi sumber air bersih, menjaga anak-anak, menutup jendela, dan tetap percaya pada informasi resmi.

READ  Dukungan Diam-Diam Saudi dan Qatar ke Sistem Pertahanan Rudal AS-Israel Terkuak di Tengah Memanasnya Konflik Iran

Tapi bagaimana bisa menenangkan hati jika halaman rumah berubah seperti dasar kawah?

Bagaimana meyakinkan anak-anak bahwa semua akan baik-baik saja, ketika langit terus menurunkan abu dan langit malam menjadi kelabu kusam?

Masyarakat tetap bertahan. Mereka bukan orang baru dalam menghadapi murka bumi. Tapi ketabahan bukan berarti tak menderita.

Mereka menyeka debu dari wajah, bukan air mata. Mereka menutup ventilasi, bukan mulut untuk bicara.

READ  Indonesia Siap Ekspor Listrik ke Singapura, Investasi Hijau Capai Rp162 Triliun

Catatan untuk Kita yang Jauh dari Asap

Lewotobi barangkali jauh dari kita yang tinggal di kota-kota besar, sibuk dengan kemacetan dan rutinitas.

Tapi di balik berita singkat tentang “hujan abu di Flores Timur”, tersembunyi kisah-kisah kecil, anak yang batuk semalaman, petani yang tak tahu harus menanam apa bulan ini, dan seorang ibu yang harus menutup sumurnya agar tak mencemari air minum bayinya.

Di ujung timur Nusa Tenggara, langit memang telah berubah warna. Tapi di hati para penyintas bencana, selalu ada ruang untuk harapan. Meski getir.

READ  Indonesia Siap Ekspor Listrik ke Singapura, Investasi Hijau Capai Rp162 Triliun

Karena dalam hujan abu pun, hidup terus berjalan. Pelan-pelan. Terbungkus debu. Tapi tetap berjalan.***

“Jasinga: 18/06/2025, Ra Dien.”

Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow

Artikulli paraprakKontroversi Penulisan Ulang Sejarah: Legislator Minta Proyek Dihentikan Jika Sarat Kepentingan Politik
Artikulli tjetërPWI DIY Dukung Penetapan Hari Kebudayaan Nasional Setiap 17 Oktober