Beranda News Hapus PR di Jawa Barat, Dedi Mulyadi Tuai Pro dan Kontra: Antara...

Hapus PR di Jawa Barat, Dedi Mulyadi Tuai Pro dan Kontra: Antara Visi Pendidikan dan Populisme

Publikbicara.com — Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memantik perdebatan luas di dunia pendidikan setelah mengumumkan kebijakan kontroversial menghapus pekerjaan rumah (PR) bagi seluruh siswa di wilayahnya.

Kebijakan ini akan mulai diberlakukan pada tahun ajaran 2025/2026 dan tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 81/PK.03/Disdik.

Dalam video yang diunggah di akun Instagram pribadinya, @dedimulyadi71, Dedi menyatakan bahwa sistem PR konvensional tak lagi relevan di era pembelajaran modern.

READ  Usai Dikeluhkan, Dinkes Berkilah Bahwa Relokasi Puskesmas Curugbitung Dijadwalkan Ulang ke 2026

Ia menilai, tugas-tugas tertulis yang dibawa siswa pulang ke rumah selama ini justru lebih sering dikerjakan oleh orang tua bukan oleh siswa itu sendiri.

“Penghapusan PR itu dimaknai sebagai upaya menghentikan aktivitas rutin sekolah yang dibawa ke rumah,” ujar Dedi, Selasa (10/6/2025).

Sebagai gantinya, Dedi mendorong siswa untuk melakukan kegiatan produktif yang membangun karakter dan keterampilan hidup, seperti membantu mencuci piring, menyetrika pakaian, atau berkebun.

READ  Usai Dikeluhkan, Dinkes Berkilah Bahwa Relokasi Puskesmas Curugbitung Dijadwalkan Ulang ke 2026

Kegiatan semacam ini, menurutnya, bisa menjadi bentuk “pekerjaan rumah” yang lebih kontekstual dan tetap mendapat penilaian dari guru.

Kebijakan ini tidak datang tiba-tiba. Dedi mengklaim sudah pernah menerapkan hal serupa saat menjabat sebagai Bupati Purwakarta.

Kini, sebagai Gubernur Jawa Barat, ia memerintahkan Dinas Pendidikan untuk menyosialisasikan kebijakan ini hingga ke tingkat SMA, SMK, dan SLB.

READ  Relokasi Puskesmas Curugbitung Dibatalkan, Warga Nanggung Merasa Di-PHP Lagi oleh Dinkes Bogor

Para pendamping satuan pendidikan juga diminta memantau dan melaporkan pelaksanaannya.

Namun, langkah ini tak luput dari kritik. Pengamat pendidikan sekaligus Ketua Yayasan Guru Belajar, Bukik Setiawan, menilai kebijakan ini hanya masuk akal jika dimaksudkan untuk memperbaiki praktik pemberian PR yang tidak berkualitas.

“Kalau hanya melarang PR tanpa memperbaiki sistem pembelajaran, justru bisa berisiko menghilangkan ruang belajar anak,” ujarnya kepada Suara.com.

READ  Cahaya Ramadhan di Setu Cigudeg: Pemuda Pancasila Berbagi untuk Sesama

Menurut Bukik, PR yang baik semestinya mampu menumbuhkan rasa ingin tahu, memperkuat hubungan anak dengan lingkungan, dan mendorong kemandirian.

Ia juga mengingatkan bahwa dampak PR sangat bergantung pada jenjang pendidikan.

“Untuk jenjang SD, PR nyaris tidak berdampak terhadap capaian akademik dan malah bisa mengganggu waktu bermain. Tapi di SMP dan SMA, PR yang dirancang baik bisa melatih tanggung jawab dan belajar mandiri.”

READ  Purnawiyata Cendekia Muslim 2025: Ini Pesan Inspiratif dari Anggota DPRD Dr. Usep Nukliri.

Bukik menegaskan bahwa peran kepala daerah semestinya berada di ranah strategis  memperkuat kapasitas guru, memperbaiki distribusi pengajar, dan menciptakan ekosistem belajar yang mendukung.

Menurutnya, keputusan seperti melarang PR mestinya berada dalam domain profesional guru, bukan kepala daerah.

“Kalau kepala daerah sibuk mengatur hal teknis seperti PR, siapa yang akan mengurus transformasi sistemik?” sindir Bukik.

READ  CORE Indonesia: Koperasi Merah Putih Ancam Masa Depan Ekonomi Desa

Nada serupa disuarakan oleh Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).

Ia menekankan pentingnya proses pembuatan kebijakan berbasis kajian dan partisipasi publik.

“Membuat kebijakan itu tidak bisa disamakan dengan membuat konten viral,” ujarnya.

Ubaid menyoroti bahwa Jawa Barat saat ini masih bergulat dengan berbagai persoalan serius di bidang pendidikan, termasuk angka putus sekolah dan kekerasan di lingkungan sekolah yang tergolong tinggi secara nasional.

READ  Prabowo Cabut Izin Tambang di Raja Ampat: Akhir dari Keserakahan di Surga Papua

Data Dasbor Verval Anak Tidak Sekolah Kemendikbud (November 2024) menunjukkan ada 658.831 anak di Jawa Barat yang tercatat tidak bersekolah.

Dari jumlah itu, sekitar 164 ribu anak drop out, hampir 200 ribu lulus tapi tidak melanjutkan, dan lebih dari 295 ribu belum pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali.

“Jawa Barat tak pernah keluar dari lima besar provinsi dengan kasus kekerasan di sekolah tertinggi,” ungkap Ubaid.

Dengan konteks ini, para pemerhati pendidikan mendesak agar kebijakan seperti penghapusan PR tidak menjadi aksi simbolik semata, melainkan bagian dari reformasi pendidikan yang utuh dan berdampak luas.

READ  Prabowo Cabut Izin Tambang di Raja Ampat: Akhir dari Keserakahan di Surga Papua

Catatan Redaksi: Kebijakan penghapusan PR ini mungkin terasa menyegarkan bagi sebagian kalangan, terutama yang melihat pendidikan dari kacamata kehidupan sehari-hari anak.

Namun di sisi lain, tanpa dasar data yang kuat dan partisipasi publik yang luas, kebijakan ini dikhawatirkan hanya menjadi langkah populis yang tidak menyentuh akar persoalan pendidikan di Jawa Barat.

Di sinilah pentingnya kepemimpinan yang tidak hanya responsif, tapi juga reflektif dan strategis.***

Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow

Artikulli paraprakUsai Dikeluhkan, Dinkes Berkilah Bahwa Relokasi Puskesmas Curugbitung Dijadwalkan Ulang ke 2026
Artikulli tjetërPemerintah Bongkar Hoaks Tambang di Raja Ampat, 4 Izin Usaha Dicabut!