Beranda News Dentang Lesung di Langit Senja: Sakralitas Upacara Numplak Wajik Keraton Yogyakarta

Dentang Lesung di Langit Senja: Sakralitas Upacara Numplak Wajik Keraton Yogyakarta

Publikbicara.com– Saat cahaya sore merunduk perlahan di pelataran Panti Pareden, Keraton Yogyakarta kembali menyuguhkan potret budaya adiluhung yang terus lestari di tengah arus zaman.

Rabu (4/6/2024) kemarin, selepas azan Asar berkumandang lembut di langit Magangan, prosesi sakral Numplak Wajik digelar penuh khidmat sebagai bagian dari rangkaian Grebeg Besar Keraton Yogyakarta.

Lima gunungan telah berjejer rapi sejak siang, menanti saatnya dirangkai menjadi simbol sedekah raja kepada rakyat.

READ  KLH Bongkar Pelanggaran Serius Tambang Nikel di Surga Wisata Raja Ampat

Di balik balutan plastik hitam, alat musik tradisional Gejog Lesung menanti giliran untuk bersuara irama kayu beradu yang bukan sekadar bunyi, tapi gema masa lalu dan doa.

“Sebentar lagi akan mulai, Mas,” bisik Sastro, seorang Abdi Dalem muda, sembari melirik langit yang mulai memerah.

Suara yang Mengusir Bala:

Ketika tirai penutup dibuka dan Gejog Lesung mulai ditabuh, atmosfer berubah drastis.

READ  KLH Bongkar Pelanggaran Serius Tambang Nikel di Surga Wisata Raja Ampat

Suara dentuman kayu seolah menggema dari perut bumi, mengiringi langkah Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi yang memimpin rombongan Abdi Dalem Keparak dari arah Regol Kemagangan.

Alunan ritmis dari lesung dan alub sebagai alat penumbuk padi zaman dulu diwariskan menjadi bunyi spiritual yang dipercaya dapat mengusir bala dan aura jahat. “Bunyi ini bukan hanya untuk meramaikan, tapi juga untuk membersihkan,” ujar seorang warga yang hadir.

READ  Vidi Aldiano Digugat Rp24,5 Miliar oleh Keenan Nasution: Perseteruan Hak Cipta Lagu Nuansa Bening

Dalam konteks keraton, Gejog Lesung tak lagi sekadar alat tani. Ia menjelma perangkat sakral yang mengiringi Numplak Wajik, prosesi penuangan wajik—kudapan manis dari ketan dan gula merah—di atas jodhang, sebagai simbol limpahan rezeki dan keberkahan dari raja untuk rakyat.

Meracik Gunungan, Menghimpun Doa:

Doa-doa dilantunkan oleh Abdi Dalem Kanca Aji, melambung tinggi menembus senja.

Kemudian, satu per satu mustaka (puncak) gunungan ditancapkan di atas wajik, membentuk struktur khas yang kelak akan diarak dalam Grebeg pada 7 Juni mendatang.

READ  Vidi Aldiano Digugat Rp24,5 Miliar oleh Keenan Nasution: Perseteruan Hak Cipta Lagu Nuansa Bening

Prosesi berlangsung dalam iringan Gejog Lesung yang tak henti—seolah membungkus tiap langkah dalam spiritualitas.

Ketika semua gunungan telah tertancap, ia kemudian dililit sinjang dan semekan, kain adat perempuan Jawa, simbolisasi kehormatan dan pelindung spiritual.

Lulur Dlingo Bengle, Warisan yang Hidup:

Usai prosesi utama, warga berebut menerima lulur dlingo bengle—campuran rempah yang diyakini membawa berkah dan perlindungan.

READ  KPK Ungkap Skandal Pemerasan di Kemnaker: 85 Pegawai Terlibat, Total Uang Mencapai Rp8,94 Miliar

“Katanya, dari keraton pasti bawa berkah dalem,” kata Nurhayati (48), warga yang mengaku tak pernah absen menghadiri acara ini.

Dalam kepercayaan Jawa, jerangau dan bangle punya aroma khas yang tak disukai makhluk halus.

Maka lulur ini tak sekadar untuk kecantikan, tetapi juga sebagai pelindung dari energi negatif.

“Ini adalah simbol kecantikan lahir batin,” jelas Kanjeng Raden Tumenggung Rintaiswara, Penghageng II Kawedanan Widya Budaya.

READ  KPK Ungkap Skandal Pemerasan di Kemnaker: 85 Pegawai Terlibat, Total Uang Mencapai Rp8,94 Miliar

“Dalam budaya Jawa, perempuan selalu merawat diri sebelum peristiwa penting. Lulur ini bagian dari tradisi itu—juga sebagai penolak bala.”

Upacara Numplak Wajik digelar tiga kali dalam setahun: menjelang Grebeg Mulud, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar.

Tiap upacara bukan sekadar simbol, tapi juga pertanda bahwa denyut warisan budaya masih hidup, masih dijaga.

READ  KPK Belum Periksa Ridwan Kamil dalam Kasus Korupsi Iklan Bank BJB, Ini Alasannya

“Ya, kita mohon doa restu agar acara Grebeg berjalan dengan baik dan lancar,” ucap GKR Mangkubumi menutup hari itu, sebelum melangkah meninggalkan Panti Pareden diiringi sinar senja yang mulai meredup.

Bagi yang hadir hari itu, suara lesung yang menggetarkan dada, aroma rempah yang menguar lembut, dan simbol-simbol sakral dari jodhang hingga lulur adalah lebih dari pertunjukan budaya ia adalah pengingat bahwa warisan, selama masih dihormati dan dijaga, akan terus hidup dalam langkah-langkah yang sakral.***

Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow

Artikulli paraprakKLH Bongkar Pelanggaran Serius Tambang Nikel di Surga Wisata Raja Ampat
Artikulli tjetërSebelum 7 Hari” (2025): Teror Mistis Menjelang Kamis Kliwon