Publikbicara.com – Sabtu 20 Mei 2025, langit Cibinong tak terlalu cerah. Tapi di balik awan kelabu, secercah harapan baru tengah disemai di sebuah gedung yang tampak biasa, namun hari itu memancarkan aura berbeda Gedung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor.
Langkah-langkah bersemangat menggema di antara mereka, Fajrin Ramadhani, Ketua Jaringan Kebudayaan Rakyat (Jaker), melangkah mantap membawa misi yang tak ringan yakni memperjuangkan kebudayaan, suara akar rumput, dan warisan lokal yang nyaris terlupakan.
Ia tidak sendiri. Rekannya, Kang RD, dan penguris Jaker Bogor, serta para perwakilan komunitas seni, budaya, dan literasi turut serta dalam audiensi bersejarah itu.
Tujuan mereka jelas menyampaikan sembilan tuntutan strategis demi masa depan kebudayaan Bumi Tegar Beriman.

“Alhamdulillah, sambutan dari Disbudpar dan Dinas Arsip sangat hangat,” ujar Fajrin, senyum kecil terselip di balik ketegasannya.
“Hari ini kami tak hanya bicara, tapi membawa suara banyak hati dari berbagai penjuru Kabupaten Bogor.” tambah dia,
Mereka tidak datang untuk basa-basi. Di tangan mereka tergenggam sembilan butir harapan, dirumuskan dengan semangat kolektif dari komunitas yang selama ini menjaga nyala lilin budaya di kegelapan zaman:
1. Partisipasi rakyat: Jaker menuntut agar masyarakat dilibatkan dalam penyusunan regulasi budaya, khususnya Peraturan Bupati (Perbup), agar lebih hidup dan membumi.
2. Pengakuan adat Kasepuhan: Desakan terhadap pembahasan Perda tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan mengemuka sebagai penanda pengakuan jati diri lokal.
3. Pemetaan budaya: Data pokok kebudayaan harus ditetapkan di seluruh wilayah Kabupaten Bogor agar diakui di tingkat nasional dan internasional.

4. Tim pendataan khusus: Perlu dibentuk tim khusus yang dapat mendata kekayaan budaya secara akurat dan berkelanjutan.
5. Museum budaya Sunda: Diharapkan dapat menjadi pusat edukasi sekaligus benteng terakhir pelestarian budaya.
6. Kesejahteraan pelaku budaya: Terutama mereka yang mengabdi pada budaya Sunda, harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah.
7. Ruang kreativitas: Seniman dan budayawan butuh ruang untuk mengekspresikan jiwa dan gagasan mereka tanpa batas.
8. Penghargaan terhadap pahlawan daerah: Nama mereka patut diabadikan di gedung-gedung pemerintah sebagai warisan inspiratif.
9. Pelurusan narasi sejarah dan pelestarian situs budaya: Agar generasi mendatang tidak tumbuh dalam ingatan yang kabur dan tempat yang sunyi dari sejarah.
Di sela pembahasan yang penuh makna, Kang RD angkat suara. Nada suaranya tenang, namun menyimpan getaran idealisme yang tak bisa disembunyikan.
“Kami ingin pemerintah dan rakyat saling menguatkan, membangun koherensi sosial. Tak cukup hanya program, harus ada perasaan terhubung. Kebudayaan bukan urusan masa lalu semata—ini tentang masa depan kita bersama.”
Ia juga menyinggung peran Dinas Arsip dan Perpustakaan. Literasi, menurutnya, harus menjadi gerakan, bukan sekadar kampanye tahunan.
“Kami berharap ada langkah konkret untuk menghidupkan minat baca dan merawat dokumentasi sejarah daerah ini,” tegasnya.
Hari menjelang sore ketika pertemuan ditutup. Tapi semangat mereka belum padam.
Langkah-langkah itu kembali mengisi lorong gedung, kali ini membawa secercah cahaya bahwa perubahan tak selalu datang lewat teriakan, kadang lewat dialog, lewat sembilan tuntutan yang sederhana, tapi mampu mengubah wajah masa depan bila terealisasi kan.

Dan Jaker, dengan segala kerendahan hati dan keberanian, telah memulainya.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













