Publikbicara.com– Setiap tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia mengenang tonggak sejarah berdirinya Boedi Oetomo sebagai simbol Kebangkitan Nasional.
Tapi lebih dari sekadar upacara dan spanduk, sudahkah kita benar-benar menghidupi semangat kebangkitan itu? Ataukah kita hanya terjebak dalam nostalgia yang hampa?
Berdiri pada 20 Mei 1908, Boedi Oetomo bukan sekadar organisasi, tapi wujud keberanian pertama pribumi Indonesia membangun gerakan modern melawan penjajahan.
Sebuah inisiatif yang lahir dari kesadaran kolektif, bahwa bangsa ini tak akan merdeka tanpa persatuan, tanpa semangat, dan tanpa pemikiran yang tajam, budi yang utama.

Menariknya, jika kita bedah makna dari dua kata itu, budi dan utomo, kita akan menemukan pesan yang jauh lebih dalam.
Budi bukan sekadar nama, dalam bahasa Indonesia, budi adalah akal, pikiran, dan nurani. Ia juga berarti watak, tabiat, bahkan perbuatan baik.Sedangkan utomo berarti utama.
Maka Boedi Oetomo bukan cuma organisasi, ia adalah filosofi, bahwa untuk membebaskan bangsa, yang utama bukan senjata, tapi budi pekerti. Akal sehat. Nurani yang hidup.
Sayangnya, lebih dari seabad kemudian, kita justru kian jauh dari semangat itu.
Kita merayakan Hari Kebangkitan Nasional dengan kemeriahan simbolik, namun membiarkan budaya saling curiga, ego sektoral, dan amnesia sejarah tumbuh subur.
Kita bangga menyebut diri nasionalis, tapi kerap kehilangan empati terhadap sesama. Kita bicara soal “bangsa besar”, tapi malas berpikir besar.

Di Kabupaten Bogor, Jaringan Kebudayaan Rakyat (Jaker) mencoba membangkitkan kembali semangat itu.
Dalam rangka menyambut Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, Jaker menyerukan agar seluruh putra-putri Bogor berkumpul.
Bukan untuk sekadar seremoni, tapi untuk bersilaturahmi, berdiskusi, dan menyatukan persepsi.
Sebab bangsa ini hanya akan benar-benar bangkit jika rakyatnya kembali mau berpikir, berbudi, dan bertindak demi kepentingan bersama.
“Boedi Oetomo bukan nostalgia, tapi pesan moral. Kita hanya bisa memanusiakan manusia jika kita punya budi. Dan budi itulah yang seharusnya menjadi yang utama,” kata salah satu aktivis Jaker dalam keterangan tertulisnya. Sabtu, (10/05/2025).

Dan mungkin, inilah pertanyaan yang layak kita renungkan bersama di momen ini, masihkah kita punya budi? Dan jika iya, utamw-kah ia dalam tindakan kita sehari-hari? Wawlohualam bisawab.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













