Beranda Daerah Marsinah: Doa yang Tak Pernah Usai dari Balai Desa Nglundo

Marsinah: Doa yang Tak Pernah Usai dari Balai Desa Nglundo

Publikbicara.com – Rabu malam, 30 April. Balai Desa Nglundo di Kabupaten Nganjuk tampak berbeda.

Bukan karena lebih banyak lampu dinyalakan, melainkan karena suasana batin warganya menyala oleh kenangan dan harapan.

Malam itu, bukan sekadar malam menjelang Hari Buruh Internasional. Bagi mereka yang hadir, ini adalah malam untuk Marsinah.

READ  Peluk Pohon, Cara Sederhana Redakan Stres dan Pulihkan Kesehatan Mental

Tanpa atribut peringatan resmi, warga datang satu per satu. Tak ada yel-yel perjuangan. Tak ada sorak sorai.

Marsinah: Doa yang Tak Pernah Usai dari Balai Desa Nglundo

Yang terdengar hanyalah lantunan doa dalam keheningan. Sebuah istighosah digelar untuk mengenang 32 tahun kepergian Marsinah, buruh perempuan asal desa mereka yang gugur demi suara keadilan.

Nama Marsinah disebut dengan lembut namun penuh hormat.

READ  May Day dalam Eksploitasi Perayaan: Substansi yang Samar di Tengah Tarian Peringatan

Di tengah lantunan doa, terasa seolah sosoknya hadir di antara mereka—bukan sebagai ikon, tetapi sebagai anak kampung yang tumbuh di pematang sawah dan pernah menjajakan gorengan ke sekolah.

“Marsinah bukan cuma pejuang. Ia anak desa ini, dan semangatnya tak boleh hilang begitu saja,” ujar Ansori, Kepala Desa Nglundo, yang kini jadi penjaga narasi perjuangan itu.

READ  May Day dalam Eksploitasi Perayaan: Substansi yang Samar di Tengah Tarian Peringatan

Tidak ada institusi besar di balik peringatan ini. Semua tumbuh dari akar: dari ingatan warga, dari kerinduan yang jujur, dan dari keinginan untuk menjaga agar nama Marsinah tak sekadar menjadi catatan kaki dalam buku sejarah.

Marsinah lahir pada 10 April 1969 dari keluarga sederhana. Seperti jutaan rakyat kecil di era Orde Baru, hidupnya dikelilingi keterbatasan.

Mimpi kuliah harus dikubur dalam-dalam karena ekonomi. Ia pun merantau ke Surabaya dan bekerja di berbagai pabrik.

READ  Tanggapi Keluhan Pasien: RSUD Leuwiliang Klarifikasi Kooperatif, Tegaskan Pelayanan Obat Sesuai Standar

Pada 1990, Marsinah bergabung dengan PT Catur Putra Surya di Sidoarjo. Di sinilah, kesadarannya tumbuh.

Ia tidak hanya bekerja, tetapi juga belajar bersuara. Saat banyak buruh memilih diam di bawah tekanan, Marsinah justru menjadi penggerak di Serikat Pekerja.

Ketika pemerintah mengimbau kenaikan upah 20 persen dan perusahaan mengabaikannya, Marsinah ikut menyusun tuntutan.

READ  Tanggapi Keluhan Pasien: RSUD Leuwiliang Klarifikasi Kooperatif, Tegaskan Pelayanan Obat Sesuai Standar

Ia hadir dalam rapat-rapat, ikut menyusun strategi aksi. Keberaniannya melawan arus membuat namanya diperhitungkan—juga dibidik.

Pada 5 Mei 1993, setelah 13 buruh ditangkap dan dipaksa mundur, Marsinah mendatangi Kodim untuk mencari kejelasan.

Malam itu, ia menghilang. Tiga hari kemudian, tubuhnya ditemukan di hutan jati Wilangan. Penuh luka dan tanda penyiksaan. Ia dibungkam secara keji.

READ  Gubernur Jateng Akui Kemiskinan Tertinggi di Pulau Jawa, Janji Ubah Wajah Provinsi Secara Bertahap

Kasusnya mengguncang Indonesia. Namun, seperti banyak kisah luka bangsa ini, keadilan tak kunjung datang.

Marsinah: Doa yang Tak Pernah Usai dari Balai Desa Nglundo

Upaya penyelidikan berkali-kali kandas. Yang tersisa hanyalah ingatan dan perlawanan yang diwariskan.

Di tengah sunyi Jalan Raya Baron, berdiri patung perempuan muda dengan tangan mengepal, dikelilingi kelopak bunga teratai.

READ  Gubernur Jateng Akui Kemiskinan Tertinggi di Pulau Jawa, Janji Ubah Wajah Provinsi Secara Bertahap

Nama itu terpahat jelas: Marsinah. Monumen itu berdiri tak jauh dari makamnya. Ia diam, tetapi bercerita.

“Kalau ada niat dari aktivis untuk buat patung yang lebih besar, kami dukung. Kami ingin semangat Marsinah terus tumbuh di kampung ini,” kata Ansori.

Patung lama sempat roboh karena ditabrak truk pada 2014. Tapi, bahkan insiden itu tak bisa meruntuhkan jejak perjuangannya. Patung baru dibangun, lebih kokoh, seperti keberanian yang tak pernah benar-benar padam.

READ  Menjelang May Day 2025, Tren Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia Terus Menurun

Marsinah tidak pernah menerima keadilan secara hukum.

Namun, dalam ingatan banyak orang, ia telah menang: menjadi simbol keberanian, suara yang menembus sunyi. Ia pernah dianugerahi Penghargaan Yap Thiam Hien atas jasanya dalam memperjuangkan hak asasi manusia.

Kini, setiap 1 Mei, kisah Marsinah kembali hidup. Bukan hanya di mimbar-mimbar demonstrasi, tetapi juga di ruang-ruang kecil seperti Balai Desa Nglundo.

READ  Menjelang May Day 2025, Tren Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia Terus Menurun

Di sana, doa-doa dipanjatkan. Cerita-cerita diceritakan kembali. Sebab perjuangan tidak selalu lewat megafon—kadang justru lewat kesunyian yang khidmat.

Marsinah mengajarkan satu hal: hak buruh bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan. Dan perjuangan itu tak selalu harus besar, selama ia tulus dan tak kenal menyerah.

Di balik upah yang layak, jam kerja yang manusiawi, dan perlindungan yang kita nikmati hari ini—ada suara yang pernah dibungkam, tapi tak pernah hilang.

Dan malam itu, di Balai Desa Nglundo, suara itu kembali bergema. Bukan lewat teriakan, tetapi lewat doa. Nama itu masih hidup. Marsinah!!

Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow

Artikulli paraprakPeluk Pohon, Cara Sederhana Redakan Stres dan Pulihkan Kesehatan Mental
Artikulli tjetërJarang Diketahui Orang: Berikut Sejarah Singkat Marsinah!