Publikbicara.com– Budaya bekerja dari kafe bukanlah fenomena baru. Sejak akhir 2000-an, di Indonesia, pemandangan anak muda dengan laptop di atas meja sambil menikmati secangkir kopi sudah menjadi hal lumrah.
Mereka tidak hanya menyelesaikan tugas sekolah atau kuliah, tetapi juga berselancar di dunia maya hingga kadang mengunduh film dengan memanfaatkan Wi-Fi gratis.
Kebiasaan itu terus berlanjut hingga mereka memasuki dunia kerja.
Dengan penghasilan sendiri dan teknologi yang makin maju, bekerja dari kafe menjadi pilihan nyaman.
Tak perlu lagi ruang kantor resmi, cukup duduk di sofa empuk sambil menikmati suasana santai, pekerjaan tetap bisa beres.
Apalagi, pandemi COVID-19 mempercepat adopsi pola kerja jarak jauh, membuktikan bahwa produktivitas tidak bergantung pada lokasi fisik.
Kini, di kota-kota besar Indonesia, bekerja dari kafe sudah menjadi bagian dari gaya hidup.
Koneksi internet cepat, suasana yang mendukung, hingga pilihan menu yang beragam membuat kafe menjadi “kantor kedua” bagi banyak orang.
Jejak Sejarah: Kafe sebagai Markas Para Intelektual
Bekerja dari kafe sebenarnya sudah menjadi tradisi sejak ratusan tahun lalu.
Di Istanbul, Turki, kafe pertama dibuka pada tahun 1555, menjadi tempat favorit para cendekiawan untuk berdiskusi, bertukar gagasan, dan menulis karya-karya besar. Tidak heran, kafe-kafe ini dijuluki sebagai “sekolahnya orang beradab.”
Fenomena ini kemudian menjalar ke Eropa. Di Wina, Cafe Landtmann yang berdiri tahun 1873 menjadi tempat nongkrong sekaligus ruang kerja tokoh-tokoh besar seperti Sigmund Freud, Peter Altenberg, hingga Gustav Mahler.
Di Paris, nama-nama legendaris seperti Ernest Hemingway, Gertrude Stein, hingga F. Scott Fitzgerald kerap menghabiskan waktu di kafe-kafe ikonik seperti Les Deux Magots, Café de Flore, dan La Closerie de Lilas.
Bagi mereka, kafe bukan sekadar tempat mengisi perut. Ia menjadi ruang kreatif untuk menulis, berdiskusi, dan menjalin jejaring.
Kafe sebagai “Ruang Ketiga”
Mengapa kafe terasa begitu nyaman untuk bekerja? Konsep “ruang ketiga” yang diperkenalkan sosiolog Ray Oldenburg memberikan jawabannya.
Menurut Oldenburg, ruang ketiga adalah tempat netral selain rumah (ruang pertama) dan kantor (ruang kedua), yang memungkinkan interaksi sosial bebas dari tekanan formal.
Ruang ketiga, seperti kafe, menawarkan suasana yang santai, mudah diakses, tidak memandang status sosial, serta mendukung percakapan dan relasi antarindividu.
Di tempat seperti ini, orang merasa lebih rileks, lebih kreatif, dan tetap produktif.
Dengan segala kelebihannya, tidak heran jika hingga hari ini kafe tetap menjadi pilihan utama para pekerja, pelajar, hingga pebisnis untuk mencari inspirasi dan menyelesaikan pekerjaan seperti yang telah dilakukan para pemikir besar sejak berabad-abad lalu.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













