Publikbicara.com– Dalam sejarah panjang Gereja Katolik, nama Paus Gregorius III kerap menjadi catatan menarik, terutama karena latar belakang asalnya yang tak biasa.
Ia menjabat sebagai Paus dari tahun 731 hingga 741, dan tercatat sebagai paus non-Eropa terakhir selama lebih dari 12 abad.
Gregorius III berasal dari Suriah, sebuah wilayah di Timur Tengah, yang menjadikannya salah satu paus dengan akar non-Eropa di tengah dominasi panjang kepausan oleh bangsa-bangsa dari Benua Biru.
Sepeninggalnya, Tahta Suci kembali diisi oleh para paus yang mayoritas berasal dari Italia dan negara-negara Eropa lainnya.
Butuh waktu sangat lama—tepatnya 1.272 tahun—hingga akhirnya Gereja Katolik kembali dipimpin oleh sosok non-Eropa.
Pada 13 Maret 2013, Jorge Mario Bergoglio asal Argentina terpilih menjadi Paus Fransiskus, paus pertama dari Amerika Latin dan juga dari luar Eropa dalam era modern.
Terpilihnya Paus Fransiskus dianggap sebagai babak baru dalam dinamika global Gereja Katolik. Namun jauh sebelum itu, Paus Gregorius III sudah menorehkan jejak sejarah serupa.
Ia dikenang karena keberaniannya menentang kekuasaan Kaisar Bizantium dalam isu ikonoklasme dan usahanya memperkuat posisi Gereja di Barat.
Fakta bahwa Gereja Katolik membutuhkan lebih dari satu milenium untuk kembali mengangkat pemimpin non-Eropa, menegaskan betapa langkanya momen semacam ini dalam sejarah kepausan.
Kini, jejak Paus Gregorius III kembali menjadi bahan refleksi akan pentingnya keberagaman dalam struktur tertinggi Gereja, dan bagaimana sejarah bisa berulang dalam wajah yang baru. (**)
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













