Publikbicara.com – Jasinga, 22 April 2025. Di tengah perjuangan sekelompok masyarakat Jasinga menuntut kembali rekonstruksi Pendopo Eks Kewedanaan Jasinga pada September 2024 lalu.
Ada sebuah cerita yang tak boleh dilupakan, sekelompok wanita yang rela menyampingkan naluri keibuannya demi masa depan generasi mendatang.
Mereka bukan aktivis organisasi besar, bukan tokoh yang sering tampil di mimbar kehormatan. Namun semangat mereka justru menjadi bagian dari motor penggerak gerakan rakyat.
Di bawah terik matahari dan guyuran hujan, mereka tetap berdiri di antara barisan depan, menyuarakan hak atas warisan sejarah Jasinga yang selama ini terbengkalai.

Kontras dengan semangat para ibu dan pemuda lainya, sikap sebagian pemuda “elitis” di Jasinga justru mencederai semangat kolektif.
Alih-alih bergabung dalam gerakan masyarakat dari awal, mereka terkesan sibuk menjaga gengsi organisasi plat merah seolah kehormatan dan kontribusi diukur dari jaket dan logo.
Anehnya, ketika perjuangan rakyat mulai menarik perhatian pemerintah, dan janji rekonstruksi mulai terdengar nyata, justru para pemuda inilah yang tampak paling rajin muncul pencitraan.
Mengenakan jaket kebesaran, mereka tampil seolah telah berjuang sejak awal, seakan nama mereka tak boleh tertinggal dalam sejarah keberhasilan.
Ironisnya, saat diajak duduk bersama di awal gerakan, memikirkan masa depan Jasinga secara kolektif, mereka memilih diam.
Tak ada respons, bahkan ketika aksi-aksi damai digelar. Mereka absen dari proses, tapi ingin hadir dalam hasil.
Masyarakat Jasinga, terutama para perempuan tangguh ini, telah memberi pelajaran penting: perjuangan tak selalu membutuhkan panggung, tapi ketulusan dan keberanian.
Kini, ketika rekonstruksi Pendopo Eks Kewedanaan Jasinga semakin dekat terealisasi, semangat rakyat sejati semoga tetap menjadi fondasi utama, bukan sekadar formalitas politik atau simbol kosong kebesaran organisasi.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













