Publikbicara.com – Literasi sejarah Indonesia, khususnya mengenai masa-masa kerajaan di Nusantara, kerap menyuguhkan narasi-narasi konflik antar sesama anak bangsa.
Salah satu contohnya adalah kisah “gempuran Kesultanan Banten dan Cirebon terhadap Kerajaan Sunda Pajajaran pada abad ke-14″.
Narasi ini, jika tidak dikaji secara kritis dan kontekstual, berpotensi menanamkan kesan bahwa bangsa kita sejak dahulu kala gemar berkonflik, saling menjatuhkan, bahkan tamak dalam perebutan kekuasaan.
Padahal, sejarah seharusnya menjadi media refleksi, bukan sekadar catatan tentang siapa menang dan siapa kalah.
Ya, sejarah semestinya menjadi ruang edukatif yang mampu menumbuhkan kesadaran akan pentingnya persatuan dalam keberagaman (Kebinekaan).
Bila narasi sejarah hanya menonjolkan sisi konflik seakan ada permusuhan, maka nilai-nilai luhur yang selama ini menjadi fondasi kebudayaan bangsa seperti gotong royong, toleransi, dan kearifan lokal akan terancam tenggelam.
Dalam konteks budaya Sunda, misalnya, ada yang dikenal sebagai semboyan luhur dari Prabu Siliwangi yakni, Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh.
Ini bukan sekadar slogan, melainkan filosofi kehidupan yang menekankan pentingnya saling belajar, saling mengasihi, dan saling membimbing.
Nilai-nilai ini justru sangat bertolak belakang dengan narasi sejarah yang seolah-olah menggambarkan konflik antar kerajaan sebagai hal yang dominan.
Sudah saatnya kita membangun rekonsiliasi literasi sejarah. Bukan berarti menghapus konflik dari catatan sejarah, melainkan mengemas dan menyampaikan narasi sejarah secara lebih bijaksana, kontekstual, dan seimbang.
Bahwa setiap peristiwa memiliki latar belakang sosial, politik, bahkan spiritual yang kompleks.
Tidak semua ekspansi atau perang antar kerajaan semata-mata soal kerakusan, tetapi juga bisa menjadi bagian dari dinamika zaman, diplomasi, atau bahkan kesalahpahaman.
Untuk itu, mari kita mengajak generasi muda untuk memahami sejarah dari sudut pandang yang lebih utuh.
Karena itu akan membantu menciptakan bangsa yang tidak mudah terpecah oleh narasi-narasi yang memecah belah.
Dengan demikian, sejarah tidak hanya menjadi bahan hafalan, melainkan menjadi pelajaran hidup yang membentuk karakter dan identitas bangsa.
Jasinga, 21 April 2025: Jaringan Kebudayaan Rakyat (Jaker) Bogor.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













