Publikbicara.com – Jasinga, 19 April 2025, Sebuah puisi singkat berjudul “DARAHKU BUKAN BIRU” karya kawan-kawan Jaker Bogor belakangan menjadi perhatian.
Di balik rangkaian kata yang tegas dan penuh celaru, tersimpan kritik mendalam terhadap kebanggaan sosial yang dibangun di atas warisan gelar semata, tanpa didukung karya nyata.
Inti Pesan Puisi: Puisi ini dibuka dengan pernyataan lugas:
“Darahku, entah merah, entah hitam, tapi yang pasti – bukan biru murahan.”
Di sini, “biru” secara metaforis merujuk pada darah bangsawan, simbol status sosial turun-temurun.
Penyair menegaskan bahwa ia menolak identitas palsu yang tidak dibarengi tanggung jawab dan prestasi.
Kritik terhadap Bangsawan “Tanpa Karya”
Beberapa bait selanjutnya menyoroti fenomena masyarakat yang bangga atas garis keturunan, namun gagal “menghidupi” status tersebut dengan prestasi:
“Tak sudi aku mewarisi kebanggaan semu, jika hanya hidup dari nama, tapi mati dalam karya.”
Kalimat ini menegaskan bahwa kebanggaan nama besar hanya bernilai kalau diimbangi kontribusi nyata.
Menurut pengamat sastra Andri Prasetyo, puisi ini menyentil “kesenjangan antara reputasi dan realitas”
“Banyak figur publik atau keturunan terpandang yang justru tidak berbuat apa-apa untuk kemajuan masyarakat di sekitarnya – mereka ‘hidup dari nama’ tetapi tidak ‘mati dalam karya’.”
Selanjutnya, sang penyair mengenang jerih payah leluhur:
“Leluhurku berkeringat, berjuang tanpa pamrih, sementara aku duduk di takhta, menunggu pujian tanpa hasil.”
Baris ini menjadi pengingat bahwa warisan sebenarnya bukan sekadar darah keturunan, melainkan nilai-nilai kerja keras dan pengabdian.
Pakar budaya Dr. Ratni Wulandarni menekankan:“Puisi ini menyerukan agar generasi penerus tidak berpuas diri, melainkan melanjutkan visi dan etos para pendahulu dengan inovasi dan aksi nyata.”
“Biru” sebagai Simbol Palsu
Di bagian penutup, penyair mengungkapkan rasa malu yang paling mendalam:
“Aku malu – bukan karena darahku tak biru, tapi karena biru kini jadi simbol palsu, yang hanya dijaga, bukan diperjuangkan lagi.”
Ungkapan ini mematahkan anggapan bahwa status sosial otomatis membawa kehormatan.
Sebaliknya, kehormatan harus“diperjuangkan” terus-menerus melalui karya dan pengabdian.
Mengapa Puisi Ini Dinilai Penting dan Jadi Sorotan?
1. Refleksi Sosial: Menyentil ketimpangan antara ekspektasi publik pada figur keturunan bangsawan dengan kontribusi nyata mereka.
2. Afirmasi Nilai Karya: Menegaskan bahwa prestasi lahir dari kerja keras, bukan hanya nama atau koneksi.
3. Seruan Generasi Muda: Mengajak generasi penerus untuk tak terlena pada warisan status, melainkan membangun reputasi lewat inovasi dan kemanfaatan bagi banyak orang.
Catatan Akhir: “DARAHKU BUKAN BIRU” bukan hanya puisi, ia menjadi pemantik diskusi soal arti sejati identitas dan tanggung jawab sosial.
Di tengah pusaran sorotan, penyair ia mengajak kita untuk menilik ulang, apa yang sebenarnya kita warisi, dan bagaimana cara kita mempertahankannya.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













