Publikbicara.com – Aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di depan Gedung DPRD Kota Malang pada Minggu (23/3) berujung ricuh.
Delapan jurnalis mahasiswa yang tengah meliput kejadian justru menjadi korban kekerasan, diduga oleh aparat keamanan gabungan dari kepolisian dan militer.
Demonstrasi yang awalnya berjalan damai berubah mencekam saat massa mulai membakar barang-barang di luar pagar gedung DPRD dan melempar petasan.
Aparat pun merangsek masuk, membubarkan massa, dan melakukan penyisiran di sejumlah titik.
Namun dalam prosesnya, tindakan represif juga menyasar para jurnalis mahasiswa yang sedang menjalankan tugasnya.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang, Delta Nishfu, mengungkapkan bahwa dirinya termasuk salah satu korban.
Saat tengah mendokumentasikan aksi di sekitar Bundaran Tugu Balai Kota, ia tiba-tiba ditarik dan diseret oleh sejumlah aparat berpakaian preman.
“Tanganku memar, enggak bisa nyetir (sepeda motor) karena waktu kejadian aku sempat diseret, terus dipukuli dan hampir dibawa (diamankan) polisi,” ujar Delta seperti dilansir dari Tempo, Selasa (25/3/2025).
Delta menuturkan, empat orang berbadan kekar yang tidak berseragam diduga sebagai pelaku kekerasan terhadapnya.
Sementara aparat berseragam tampak mengerumuni dan mengintimidasi tanpa jelas siapa yang memberi perintah.
Tujuh jurnalis mahasiswa lainnya juga mengalami kekerasan fisik.
Dua di antaranya, yang berasal dari Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi UIN Malang, sempat digebuki saat mendokumentasikan aksi aparat mengejar massa di area taman seberang balai kota. Mereka mengalami memar di paha dan badan.
Lalu, seorang jurnalis dari LPM Kavling 10 Universitas Brawijaya mengalami pukulan di kepala dan punggung.
Ia baru dilepaskan setelah menunjukkan kartu pers. Dua anggota Kavling 10 lainnya juga mendapat perlakuan represif saat meninggalkan lokasi demo di depan Hotel Splendid.
Salah satu mengalami bengkak di kaki, sementara yang lain benjol di kepala.
Aksi yang digelar kelompok Arek-Arek Malang awalnya berlangsung tertib.
Massa menyampaikan orasi, memeragakan aksi teatrikal, serta menempelkan pamflet tuntutan di pagar gedung DPRD.
Mereka menolak UU TNI yang dinilai merusak demokrasi dan berpotensi mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru.
Namun, situasi berubah panas sekitar pukul 18.00 WIB, ketika massa melanjutkan aksi teatrikal simbolis setelah berbuka puasa bersama.
Sekitar pukul 18.40 WIB, aparat mulai bergerak agresif. Dua pleton pasukan gabungan membawa tongkat pemukul dan menyisir Jalan Gajahmada, Suropati, Sultan Agung, hingga Pajajaran.
Laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Pos Malang mengungkapkan bahwa dalam penyisiran tersebut, tidak hanya demonstran yang mengalami kekerasan, tetapi juga tim medis, jurnalis, dan pendamping hukum.
“Tim medis, pers, dan pendamping hukum yang bersiaga di halte Jalan Kertanegara juga mengalami pemukulan, kekerasan seksual, dan ancaman pembunuhan secara verbal.
Sejumlah gawai dan alat kelengkapan medis dirampas. Beberapa massa aksi yang sudah menyelamatkan diri pun masih dikejar, dipukul, dan diculik oleh aparat berpakaian preman,” demikian laporan YLBHI Pos Malang di akun X resminya.
Insiden ini menambah daftar panjang kekerasan terhadap jurnalis, khususnya dari kalangan pers mahasiswa.
Penyerangan terhadap mereka yang sedang menjalankan tugas jurnalistik menimbulkan pertanyaan besar: seberapa aman kebebasan pers di Indonesia?
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pihak kepolisian maupun TNI terkait dugaan kekerasan terhadap jurnalis mahasiswa dalam aksi tersebut.
Sementara itu, desakan untuk mengusut tuntas kasus ini mulai menguat dari berbagai organisasi pers dan hak asasi manusia.
Apakah kebebasan pers di negeri ini benar-benar dilindungi, atau justru kian terancam oleh tangan besi kekuasaan?
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













