Publikbicara.com – Sulit memang menemukan kelapangan hati untuk mengakui kebenaran. Yang sering terjadi justru pembenaran yang dibenar-benarkan.
Seperti pada kasus tertahannya jenazah di RSUD Leuwiliang akibat tunggakan denda BPJS yang semakin menjadi sorotan publik setelah anggota DPRD Kabupaten Bogor, H. Usep Nukliri, turun tangan.

Pihak rumah sakit membantah telah menahan jenazah, namun klaim tersebut dibantah keras oleh keluarga almarhum R, warga Desa Sipak, Kecamatan Jasinga.
“Bohong, kang M juga saksinya sama saya berdua. berarti itu salah, atuh yang benar.” ungkap IH salah satu kelurga R saat mengetahui pernyataan dari pihak RSUD Leuwiliang. Jumat, (21/03/2024).

Lebih lanjut, IH menceritakan kronologi pengalaman yang ia alami ketika mengurus jenazah R. IH bercerita, ketika dirinya ke ruangan mayit, sama petugas ia diarahkan ke bagian kasir.
“Kan saya kesana, keruang mayit, kata yang di situ, bu ke kasir, lalu saya sama M ke kasir berdua. Lalu saya dipanggil, ini kasir yang sebelahnya (menerangkan lokasi) bagai mana ini, ini penanggung jawab R, saya jawab iya saya saudranya bagai mana ini.” beber IH kepada Redaksi.

“Ini pak rosid sudah meninggal, harus bayar saja 1,7 juta. Kata saya, pak, saya lagi nunggu saudaranya bisa engga besok dibayar tapi saya mahu dibawa sekarang boleh engga, tapi kata dia gak boleh.” beber IH menerangkan kronologi.
Merasa dala kesulitan, keluarga akhirnya menghubungi Anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Bogor, Dr. Usep Nukliri, yang kemudian membayarkan biaya tersebut agar jenazah bisa segera dipulangkan.

Di sisi lain, pihak rumah sakit melalui sejumlah media membantah tudingan tersebut. Bahkan terkesan bahwa aksi anggota DPRD Kabupaten Bogor itu tidak benar dan bersipat profokator.
Pihak RSUD Leuwiliang mengklaim bahwa Instalasi Kedokteran Forensik (IKF) sudah berulang kali menyarankan agar jenazah segera dipulangkan, namun keluarga R memilih menunggu kader yang sedang mengurus administrasi.
“Jadi yang diberitakan di media tidak benar. Keterlambatan itu bukan karena jenazah ditahan, tapi karena keputusan keluarga yang ingin menyelesaikan administrasi terlebih dahulu,” ujar dr. Vitrie. seperti dikutip dari salah satu media, dan dibenarkan oleh Humas RSUD, Amir, saat dikonfirmasi melalui perpesanan WhatsApp.
Namun, pernyataan itu justru bertolak belakang dengan kesaksian keluarga korban. Mereka menegaskan bahwa sejak awal rumah sakit memang tidak mengizinkan jenazah dibawa pulang tanpa pelunasan.
Kasus ini semakin menambah deretan panjang dugaan pelayanan buruk di fasilitas kesehatan. Haruskah keluarga yang sedang berduka dipaksa berhadapan dengan birokrasi kaku dan berbelit.
Ketika nyawa sudah tak tertolong, apakah uang masih menjadi prioritas dibandingkan nilai kemanusiaan?
Kasus ini bukan sekadar insiden biasa. Ini adalah cerminan bagaimana sistem kesehatan kita masih menyulitkan rakyat kecil.
Pertanyaannya, berapa banyak lagi keluarga yang harus merasakan kepedihan serupa sebelum ada perubahan nyata?
Sebelumnya telah diberitakan bahwa, insiden tertahannya jenazah selama berjam-jam di RSUD Leuwiliang memicu kemarahan anggota DPRD Kabupaten Bogor, Usep Nukliri.
Ia menilai kejadian ini mencerminkan bagaimana kesehatan dan nyawa manusia seolah telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan.
“Apapun alasannya, ketika uang selalu menjadi ganjalan dan menimbulkan kesulitan bagi masyarakat miskin, itu tidak baik,” ujar Usep dengan nada getir, Kamis (20/3/2025).
Menurutnya, kasus ini semakin memilukan karena menyangkut jenazah yang seharusnya segera dimakamkan.
“Ini fardu kifayah, kewajiban kita semua. Jika jenazah tidak segera diurus hanya karena alasan uang, itu sangat tidak manusiawi,” tegasnya sambil mengernyitkan dahi.
Polemik keterlambatan pengurusan jenazah di rumah sakit kerap menjadi sorotan. Banyak warga miskin yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, apalagi ketika terbentur biaya administrasi.
Menanggapi kejadian tersebut, Humas RSUD, Amir, menegaskan bahwa rumah sakit tidak menahan jasad R selama berjam-jam.
Ia menjelaskan bahwa prosedur yang diterapkan sesuai dengan regulasi BPJS Kesehatan, khususnya terkait keterlambatan pembayaran iuran JKN-KIS.
Menurut Amir, peraturan yang berlaku mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan.
Salah satu ketentuannya menyatakan bahwa apabila dalam 45 hari setelah kepesertaan BPJS kembali aktif peserta memerlukan layanan rawat inap tingkat lanjutan.
Maka, akan dikenakan denda sebesar 5% dari biaya perawatan awal dikalikan jumlah bulan tunggakan, dengan maksimal 12 bulan atau Rp30 juta.
“Jadi ini bukan aturan rumah sakit, rumah sakit tidak menahan, melainkan aturan dari BPJS yang belum sepenuhnya dipahami masyarakat. Ini menjadi PR kita bersama untuk terus menyosialisasikan hal ini,” ujar Amir, Rabu (19/03/2028).
Amir menekankan pentingnya peran pemerintah desa dalam menyampaikan informasi terkait aturan BPJS kepada masyarakat.
Ia menyarankan agar kader kesehatan di desa aktif dalam memberikan pemahaman mengenai regulasi layanan kesehatan.
“Harus ada peran lebih dari desa dalam sosialisasi aturan ini. Kader-kader kesehatan juga harus memahami agar bisa memberikan edukasi kepada masyarakat,” tutupnya.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













