Publikbicara.com – Indonesian Corrupt Workflow Investigation (ICWI) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki dugaan penyalahgunaan anggaran oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2024-2029, terkait penambahan jumlah reses yang melampaui jumlah reses Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Penambahan ini dinilai berpotensi melanggar aturan hukum dan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pendiri ICWI, Tommy Diansyah, menegaskan bahwa penambahan jumlah reses di tengah defisit fiskal adalah tindakan yang tidak menunjukkan empati dan tidak memberikan teladan dalam pengelolaan anggaran negara.
Ia juga menyoroti pentingnya integritas pejabat negara dalam mematuhi prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara.
“Saya membaca pernyataan mantan anggota DPD RI asal Aceh, Fachrul Razy, yang mengungkapkan bahwa penambahan jumlah reses melanggar beberapa aturan, termasuk Undang-Undang MD3 yang mengatur masa reses DPD harus mengikuti masa reses DPR,” ujar Tommy, Selasa (14/1/2025).
Potensi Pelanggaran Undang-Undang
Tommy menyebutkan beberapa undang-undang yang diduga dilanggar, antara lain:
1. UU MD3 yang mengatur keselarasan masa reses DPD dengan DPR.
2. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, khususnya Pasal 3 Ayat (3), yang melarang pengeluaran APBN/APBD tanpa anggaran yang tersedia.
3. UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, yang mewajibkan pengelolaan keuangan negara secara efisien, transparan, dan bertanggung jawab.
Tommy menegaskan bahwa tindakan yang tidak mematuhi prinsip-prinsip tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk korupsi, meskipun tidak secara langsung melibatkan tindakan pidana.
“Korupsi tidak hanya soal delik, tetapi juga perilaku yang melanggar kaidah pengelolaan keuangan negara,” tambahnya.
Kerugian Negara dan Beban Pajak Rakyat
Menurut Tommy, penambahan jumlah reses DPD RI secara signifikan meningkatkan beban APBN. Ia mengungkapkan, setiap anggota DPR dan DPD menerima sekitar Rp350 juta untuk satu kali reses.
Dengan jumlah anggota DPD sebanyak 152 orang, anggaran yang dibutuhkan semakin besar.
“Sebagai pembayar pajak, ini jelas merugikan masyarakat. Uang rakyat seharusnya digunakan secara bijak dan bertanggung jawab,” tandasnya.
Peringatan dari Fachrul Razy
Mantan anggota DPD RI, Fachrul Razy, sebelumnya juga mengkritik penambahan masa reses tersebuttersebut.
Ia mengingatkan bahwa sesuai peraturan, masa reses DPD hanya empat kali, bukan lima kali, terutama di masa persidangan terakhir periode keanggotaan.
“Selama dua periode saya di DPD, tidak pernah terjadi penambahan masa reses. Hal ini jelas melanggar aturan dan berpotensi menjadi masalah hukum,” ujar Fachrul.
Tommy berharap KPK segera mengumpulkan bahan dan keterangan untuk menyelidiki potensi pelanggaran hukum dalam pengelolaan anggaran reses DPD RI.
Ia juga menekankan pentingnya pengawasan publik terhadap penggunaan anggaran negara demi mencegah kerugian yang lebih besar.
“Langkah ini penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara, sehingga masyarakat tidak dirugikan oleh kebijakan yang tidak sesuai aturan,” tutup Tommy.
Dengan polemik ini, publik berharap KPK segera bertindak untuk memastikan pengelolaan anggaran negara berjalan sesuai prinsip keadilan dan kepatutan.**
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













