Beranda News Hukum Jual Beli dengan Sistem Uang Panjar (DP): Antara Kebolehan dan Larangan...

Hukum Jual Beli dengan Sistem Uang Panjar (DP): Antara Kebolehan dan Larangan dalam Perspektif Fiqih

Publikbicara.com – Dalam kehidupan sehari-hari, transaksi dengan sistem uang muka atau DP (down payment) sudah menjadi hal yang umum.

Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam mengenai jual beli dengan sistem uang panjar ini? Apakah transaksi ini sah secara syariat? Berikut penjelasannya berdasarkan ilmu fiqih.

Definisi Uang Panjar (Al-‘Arabuun)

Dalam istilah fiqih, uang panjar dikenal sebagai Al-‘Arabuun. Secara bahasa, istilah ini bermakna uang yang diberikan pembeli kepada penjual sebagai tanda jadi.

READ  Hasil Akhir Seleksi CPNS Kementerian Ketenagakerjaan 2024 Resmi Diumumkan!

Jika transaksi dilanjutkan, uang tersebut dihitung sebagai bagian dari pembayaran. Namun, jika pembeli membatalkan transaksi, uang tersebut menjadi milik penjual.

Contohnya, seorang pembeli memberikan uang muka kepada penjual dengan pernyataan: “Jika saya membeli barang ini, uang ini dianggap pembayaran. Jika tidak, uang tersebut menjadi milik Anda.”

Hukum Jual Beli dengan Sistem Uang Panjar

READ  Samsul Hidayat, Anggota DPRD Jabar Desak Pemulihan Infrastruktur Pascabencana di Kabupaten Bogor

Para ulama memiliki dua pandangan utama terkait hukum sistem ini:

1. Pendapat yang Melarang (Tidak Sah)

Mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i menyatakan bahwa jual beli dengan sistem uang muka ini tidak sah. Beberapa alasan yang mendasari pendapat ini adalah:

Hadis Nabi:

Rasulullah SAW bersabda, “Nabi melarang jual beli dengan sistem Al-‘Arabuun.” (HR Abu Daud).

Hadis ini menunjukkan larangan eksplisit terhadap sistem uang muka.

Mengandung Unsur Gharar dan Memakan Harta Secara Batil:

READ  "Nasi Goreng Diplomasi": Megawati dan Prabowo Tetap Harmonis, Meski Berbeda Arah

Sistem ini dianggap mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan dapat menyebabkan salah satu pihak memakan harta orang lain secara tidak sah, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa (4:29):

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.”

READ  "Nasi Goreng Diplomasi": Megawati dan Prabowo Tetap Harmonis, Meski Berbeda Arah

Dua Syarat yang Tidak Sah:

Dalam jual beli ini, terdapat syarat bahwa uang panjar akan menjadi milik penjual tanpa kompensasi jika transaksi batal. Syarat semacam ini dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam.

2. Pendapat yang Membolehkan

Mazhab Hanbali dan beberapa ulama lain, seperti Umar bin Khattab dan Ibnu Umar, membolehkan jual beli dengan sistem uang muka. Alasan yang mendukung kebolehan ini antara lain:

READ  Panda Nababan Soroti Jokowi dalam Hubungan Megawati-Prabowo: Sentimen Negatif hingga "Nasi Goreng Diplomasi"

Praktik Sahabat:

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab pernah membeli penjara dari Shafwan bin Umayyah dengan syarat jika transaksi batal, uang muka menjadi milik penjual.

Tidak Ada Dalil yang Kuat untuk Larangan:

Imam Ahmad, pendukung pendapat ini, melemahkan hadis larangan jual beli dengan uang muka karena dianggap tidak memiliki sanad yang kuat.

READ  Pedoman Siber Media

Kesimpulan: pendapat mayoritas ulama lebih condong untuk melarang jual beli dengan sistem uang muka karena mengandung unsur ketidakpastian dan memakan harta secara batil.

Namun, sebagian ulama tetap membolehkannya berdasarkan praktik sahabat dan kelemahan dalil larangan.

Sebagai Muslim, penting untuk memahami aturan syariat ini agar transaksi yang dilakukan sesuai dengan prinsip keadilan dan kehalalan. Wallahu a’lam bishawab.***

Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow

Artikulli paraprakHasil Akhir Seleksi CPNS Kementerian Ketenagakerjaan 2024 Resmi Diumumkan!
Artikulli tjetërPentingnya Adab Sebelum Ilmu: Pelajaran dari Kisah Nabi Musa