Publikbicara.com – Mengawali tahun 2025, Indonesia resmi bergabung dengan blok ekonomi terbesar BRICS, mengikuti jejak sejumlah negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA).
Pengumuman ini disampaikan langsung di Kementerian Luar Negeri Brasil, Sao Paulo, sebagai lanjutan prosesi resmi masuknya Indonesia ke aliansi ekonomi yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Namun, di dalam negeri, keputusan ini menuai pro dan kontra.
Sebagian pihak menilai BRICS tidak memberikan keuntungan signifikan bagi Indonesia, terutama di tengah ancaman perlambatan ekonomi China dan dampak kebijakan proteksionis Donald Trump, Presiden Amerika Serikat yang baru kembali menjabat.
Trump secara tegas mengancam akan menerapkan tarif 100 persen terhadap negara anggota BRICS yang mencoba melemahkan dominasi dolar AS.
Ancaman ini mencakup Indonesia, yang kini berada dalam orbit BRICS.
Trump juga menuntut komitmen aliansi tersebut untuk tidak menciptakan mata uang baru sebagai pengganti dolar atau mendukung mata uang alternatif lainnya.
Ancaman ini muncul setelah pertemuan anggota BRICS di Kazan, Rusia, pada Oktober 2024, yang membahas upaya pengurangan transaksi berbasis dolar dan penguatan mata uang lokal.
Meski ancaman Trump menjadi tantangan serius, Indonesia telah memulai kerja sama Local Currency Transaction (LCT) dengan beberapa negara seperti Malaysia, Thailand, Jepang, dan China.
Skema ini memungkinkan transaksi perdagangan antar negara dilakukan dalam mata uang lokal tanpa melalui dolar AS.
Saat ini, Pemerintah Indonesia terus mendorong implementasi LCT dengan negara lain seperti Singapura, Korea Selatan, India, dan Uni Emirat Arab (UAE) untuk memperluas dampaknya.
Namun, para pakar mengingatkan bahwa ancaman tarif Trump bisa menjadi batu sandungan besar. Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman, menyebut tarif ini akan meningkatkan harga produk BRICS di pasar AS, sehingga menurunkan daya saing ekspor, termasuk bagi Indonesia.
“Dampaknya bisa berupa penurunan investasi asing, gangguan rantai pasokan global, hingga tekanan ekonomi domestik, terutama pada sektor yang bergantung pada perdagangan dengan Amerika Serikat,” ujar Rizal, Kamis (9/1/2025).
AS merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia. Pada November 2024, pangsa ekspor Indonesia ke AS mencapai 10,33 persen, dengan surplus perdagangan nonmigas sebesar 1,58 miliar dolar AS.
Ketergantungan ini membuat ancaman tarif dari AS menjadi risiko signifikan bagi ekonomi nasional.
Muhammad Zulfikar Rakhmat, Direktur China-Indonesia Desk di Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menyebut bahwa Trump dikenal sebagai pemimpin yang menepati ancamannya.
Jika tarif 100 persen benar diterapkan, Indonesia bisa mengalami penurunan tajam pada volume ekspor produk unggulan seperti tekstil, elektronik, dan barang manufaktur lainnya.
“Ini akan menjadi tantangan besar bagi ekonomi Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun menengah,” kata Zulfikar.
Untuk menghadapi ancaman ini, Indef mendorong pemerintah menerapkan diversifikasi perdagangan ekspor dengan memperluas pasar ke negara non-AS, meningkatkan daya saing industri domestik, dan memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas.
Selain itu, diplomasi strategis dengan AS juga perlu diperkuat untuk menghindari dampak tarif tersebut.
Peneliti CELIOS, Yeta Purnama, menambahkan bahwa Indonesia harus berhati-hati dalam bergabung dengan BRICS.
“Fokus yang terlalu besar pada China sebagai mitra utama bisa berisiko, terutama jika ekonomi mereka melemah,” ujarnya.
Yeta merekomendasikan diversifikasi mitra bilateral sebagai langkah penting untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi global di masa depan.
Keputusan Indonesia bergabung dengan BRICS membawa harapan dan tantangan.
Di satu sisi, aliansi ini menawarkan peluang untuk memperluas kerja sama ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada dolar AS.
Namun, di sisi lain, ancaman proteksionis dari AS dan ketergantungan ekonomi pada China menjadi faktor risiko yang harus diantisipasi dengan strategi yang matang.
Pemerintah Indonesia kini dituntut untuk memainkan peran strategis, tidak hanya sebagai anggota baru BRICS, tetapi juga sebagai penjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah dinamika geopolitik yang semakin kompleks.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













