Publikbicara.com – Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, menjadi saksi bisu perjalanan panjang pengelolaan sampah di wilayah ini sejak 2011.
Dengan luas mencapai 31,8 hektar, TPA ini menjadi tujuan akhir sampah dari Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor. Namun, di balik fungsi pentingnya, TPA Galuga menyimpan berbagai persoalan sosial dan lingkungan yang kompleks.
Calon Wakil Bupati Bogor, Jaro Ade, yang berkunjung ke TPA Galuga pada Sabtu (16/11/2024), mengungkapkan data yang mencengangkan.
“Setiap hari, sekitar 1.650 m³ sampah dari Pemkot Bogor dan 700–800 m³ dari Pemkab Bogor dibuang ke TPA Galuga. Totalnya mencapai 2.450 m³ per hari,” jelasnya. Volume ini menunjukkan betapa besarnya tekanan yang dihadapi oleh TPA Galuga.
Namun, bagi masyarakat sekitar, keberadaan TPA Galuga lebih banyak membawa kerugian.

Selain bau busuk yang memicu masalah kesehatan, seperti gangguan pernapasan, TPA ini juga menyebabkan kerusakan pada tanah dan air.
“Masyarakat di sekitar TPA membutuhkan fasilitas kesehatan, sarana air bersih, dan tempat ibadah untuk mendukung kehidupan mereka yang terdampak langsung,” tegas Jaro Ade.
Pengelolaan TPA Galuga tidak hanya soal sampah, tetapi juga soal dampaknya terhadap lingkungan dan ekonomi masyarakat.
Berdasarkan metode cost of illness dan replacement cost, penurunan kualitas lingkungan di kawasan ini mengakibatkan kerugian finansial sebesar Rp16,25 miliar per tahun. Jumlah tersebut mencakup biaya kesehatan dan penggantian air bersih.
“Nilai kerugian ini belum termasuk dampak sosial lainnya, seperti penurunan kualitas hidup masyarakat dan konflik yang terus terjadi antara pemerintah dan warga sekitar,” ungkapnya.
Jaro Ade menilai bahwa sampah yang menumpuk di TPA Galuga seharusnya bisa dikelola dengan lebih baik.
Menurutnya, TPA Galuga tidak hanya perlu mengurangi dampak buruk bagi lingkungan, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja.
“Pengelolaan sampah harus diarahkan agar memiliki nilai ekonomi, seperti mendaur ulang sampah organik menjadi kompos dan sampah anorganik menjadi bahan baku daur ulang.
Dengan begitu, sampah tidak lagi menjadi momok menakutkan, tetapi justru membawa manfaat bagi masyarakat,” kata Jaro Ade.

Saat ini, sekitar 1.200 pemulung bekerja memilah sampah di TPA Galuga, dengan kontribusi mereka yang signifikan.
Dari total 1.100 ton sampah yang masuk setiap hari, sekitar 250–300 ton dapat didaur ulang oleh pemulung. Namun, penghasilan mereka masih sangat minim, rata-rata hanya Rp50.000 per hari.
Yang lebih memprihatinkan, banyak anak-anak usia sekolah yang terpaksa bekerja sebagai pemulung. “Saya menemukan seorang anak yang putus sekolah SD karena harus bekerja di TPA Galuga.
Ini sangat tidak layak. Pemerintah harus memastikan anak-anak tersebut bisa kembali bersekolah,” desaknya.
Ke depan, Jaro Ade mendorong Pemkab Bogor untuk mengadopsi teknologi pengelolaan sampah yang lebih modern, termasuk program daur ulang berbasis masyarakat. “Zona inkubator dan TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle) bisa menjadi solusi untuk mengurangi volume sampah yang dikirim ke TPA Galuga,” usulnya.
Selain itu, fasilitas pengomposan yang saat ini hanya menghasilkan 20 ton kompos per hari perlu dioptimalkan.
Dengan pengelolaan yang lebih baik, TPA Galuga dapat menjadi model pengelolaan sampah yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga bermanfaat secara ekonomi.
“Sampah bukan lagi masalah, tetapi peluang. Dengan manajemen yang tepat, TPA Galuga dapat menjadi pusat inovasi pengelolaan sampah yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat,” pungkas Jaro Ade.***
Ikuti saluran Publikbicara.com di WhatsApp Follow













