Publikbicara.com – Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, secara tajam mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menangani isu kemiskinan, terutama terkait data penurunan kemiskinan ekstrem yang dianggap tidak sepenuhnya dapat dipercaya sebagai ukuran keberhasilan pembangunan.
Pemerintah mengklaim bahwa pada Maret 2024, persentase penduduk miskin ekstrem di Indonesia berhasil ditekan menjadi 0,83 persen, turun dari 1,12 persen pada Maret 2023, atau berkurang sebesar 0,29 persen poin.
Angka ini dijadikan indikator keberhasilan pemerintah dalam mengurangi kemiskinan ekstrem.
Namun, dalam sebuah webinar media pada Selasa (24/9/2024), Awalil menegaskan bahwa data ini tidak cukup meyakinkan. “Jika kemiskinan ekstrem memang jadi prioritas, sayangnya data yang disajikan kurang dapat dipercaya,” ujar Awalil.
Ia menyoroti bahwa baru pada APBN 2024, pemerintah memasukkan kemiskinan ekstrem sebagai target khusus.
Sebelumnya, selama bertahun-tahun, indikator pembangunan nasional hanya berfokus pada tingkat kemiskinan umum, pengangguran, rasio ketimpangan, dan indeks pembangunan manusia.
“Sayangnya, pencantuman kemiskinan ekstrem ini bukan karena adanya kesadaran bahwa itu perlu diprioritaskan, tapi lebih karena ingin ada ‘jalan keluar’. Ini terkesan dipaksakan supaya terlihat ada pencapaian,” kritiknya.
Mengutip definisi dari United Nations pada 1996, Awalil menjelaskan bahwa kemiskinan ekstrem bukan sekadar soal pendapatan, melainkan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, serta akses informasi dan layanan sosial.
Kritik Awalil ini menambah sorotan publik terhadap efektivitas pemerintah dalam menangani masalah kemiskinan di tengah beragam klaim pencapaian pembangunan.
Bagaimana upaya lebih lanjut dari pemerintah dalam menghadapi kritik ini masih menjadi pertanyaan yang menanti jawaban.***