Beranda Nasional Kado Pahit Untuk DKI Jakarta di Usia 494 Di Masa Pandemi

Kado Pahit Untuk DKI Jakarta di Usia 494 Di Masa Pandemi

JAKARTA WA — DKI Jakarta menginjak usia ke-494 tahun pada hari ini, 22 Juni 2021. Sayangnya, kado ulang tahun kali ini terbilang pahit lantaran persoalan kemiskinan masih membayangi ibu kota.

Kemiskinan sulit ditekan pasalnya pandemi Covid-19 masih merajalela. Bahkan, terjadi lonjakan kasus aktif harian pada beberapa pekan terakhir usai Lebaran 2021 yang menyebabkan sejumlah fasilitas rumah sakit kewalahan.

Kondisi ini melatarbelakangi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengusung tema “Jakarta Bangkit” pada peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-494.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan ibu kota telah melawan pandemi selama setahun yang mengakibatkan kontraksi pada seluruh aspek karena pembatasan interaksi penduduk.

“Tahun ini kita bayangkan sebagai tahun mulai bangkit ke depan ditandai dengan mulai bergeliatnya kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya. Jadi, kita bayangkan saat turun kita bertahan dan tangguh, dan sekarang saatnya kita bangkit,” ujarnya dikutip dari Antara.

Selama pandemi, jumlah orang miskin menanjak. Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta mencatat jumlah orang miskin di ibu kota mencapai 496,84 ribu orang pada September 2020 lalu.

Jumlah itu setara dengan 4,69 persen dari total penduduk Jakarta. Dibandingkan dengan Maret 2020, angkanya naik 15.980 orang atau 0,16 persen.

Pada Maret 2020 yang merupakan masa awal kemunculan pandemi Covid-19, jumlah orang miskin di ibu kota tercatat 480,86 ribu orang. Angka itu setara dengan 4,53 persen dari total penduduk. Khusus penduduk sangat miskin, angkanya bertambah 76.500 orang dari 108,2 ribu pada Maret 2020 menjadi 184,7 ribu pada September 2020.

“Dampak Covid-19 dapat dirasakan dari penurunan pendapatan masyarakat yang tercermin dari berkurangnya agregat permintaan (demand) konsumsi rumah tangga dalam dua kuartal terakhir. Hal ini memberi tekanan pada kemampuan daya beli masyarakat yang pada gilirannya meningkatkan risiko menjadi penduduk miskin,” tulis BPS dalam berita resmi statistik bertajuk Kemiskinan DKI Jakarta Kembali Meningkat.

Menurut BPS, bertambahnya penduduk miskin beriringan dengan naiknya tingkat ketimpangan antara si kaya dan si miskin. Kondisi ini tercermin dari kenaikan indeks gini dari 0,399 pada Maret 2020 menjadi 0,400 pada September 2020.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menuturkan penyebab bertambahnya angka kemiskinan di DKI Jakarta lantaran banyak penduduk ibu kota bekerja di sektor informal dan UMKM. Sementara, sektor informal dan UMKM ini bergantung dari aktivitas perekonomian yang terpaksa melambat karena pandemi.

Tak hanya itu, DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi yang memiliki jumlah kasus Covid-19 relatif tinggi dibandingkan provinsi lainnya. Tingginya penularan menyebabkan sektor ritel, restoran, transportasi, pariwisata seolah mati suri karena masyarakat menghindari aktivitas di luar rumah.”Sebagian pekerja di DKI Jakarta ini bekerja di sektor informal dan UMKM mereka ini sangat bergantung dari situasi ekonomi,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com belum lama ini.

Pemprov DKI Jakarta juga memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal kenaikan penularan pandemi Covid-19 di April 2020 lalu. PSBB sempat dua kali diperpanjang karena penularan virus corona masih tinggi.

Selama PSBB, Pemprov DKI Jakarta hanya mengizinkan sebelas sektor usaha yang beroperasi, antara lain, kesehatan, pangan, komunikasi dan teknologi informasi, keuangan, dan logistik. Bahkan, pusat perbelanjaan terpaksa tutup kecuali untuk gerai kesehatan dan ritel modern yang menjual kebutuhan pokok masyarakat.

Baca Juga :  Pertarungan Politik Mencuat: Pasangan Duet Jaro Ade – Anang Hermansyah Dapat Sorotan Tajam

Dampak dari pembatasan tersebut, banyak perusahaan tertekan secara finansial karena tidak mengantongi pendapatan. Imbasnya, banyak pekerja di ibu kota yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

“DKI Jakarta salah satu provinsi yang paling parah dibandingkan provinsi lain, jadi sangat sensitif terhadap Covid-19, sehingga aktivitas ekonominya sangat berkurang,” imbuh Tauhid.

Namun, ia menilai kondisi perekonomian di DKI Jakarta mulai membaik seiring dengan pelonggaran pembatasan. Sejak Juni lalu, pembatasan sosial dengan PSBB transisi dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mulai diperlonggar hingga sekarang.

Pelonggaran tersebut, lanjutnya, ikut menggerakkan perekonomian sektor informal dan UMKM di ibu kota secara perlahan. Olah karenanya, ia memprediksi angka kemiskinan pada Maret 2021 berkurang dibandingkan September 2020 lalu.

“Kalau melihat Februari 2021 ekonomi membaik akhirnya kemiskinan bisa turun lagi. Konsumsi maupun perekonomian di DKI Jakarta mulai membaik karena banyak orang mulai aktivitas, meskipun masih terbatas,” katanya.

Satu Dekade Kemiskinan Jakarta
Kado ulang tahun DKI Jakarta kali ini terbilang pahit. Pasalnya, persoalan kemiskinan di tengah pandemi covid-19 masih membayangi ibu kota.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan secara umum perekonomian di DKI Jakarta seperti provinsi lainnya mengalami kontraksi akibat pandemi. Pada kuartal II 2020, ekonomi ibu kota mengalami kontraksi 3,82 persen (yoy).

Lalu, ekonomi mulai membaik pada kuartal IV 2020 yakni minus 2,14 persen, sehingga sepanjang 2020 perekonomian ibu kota minus 2,36 persen.

Tekanan ekonomi, kata dia, bermuara pada pendapatan dan daya beli masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah. Tak pelak, hal ini mendorong tingkat kemiskinan di ibu kota.

“Untuk beberapa kelompok golongan, terbatasnya aktivitas ekonomi ini akhirnya berdampak terhadap pendapatan yang mereka hasilkan. Kelompok pekerja di sektor UMKM dan pedagang eceran kaki lima kehilangan pendapatan dari kebijakan yang harus ditempuh pemerintah untuk menekan pandemi,” ujar Yusuf.

Satu Dekade Kemiskinan Jakarta
Meski meningkat pada 2020, angka kemiskinan DKI Jakarta sebetulnya tergolong stagnan, setidaknya dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Pada Maret 2011, jumlah penduduk miskin di ibu kota tercatat sebanyak 363,42 ribu. BPS melaporkan angka itu setara dengan 3,75 persen dari total penduduk ibu kota.

Selama tiga tahun hingga Maret 2014, jumlah penduduk miskin DKI Jakarta bertahan pada rentang 354,19 ribu hingga 393,98 ribu orang. Sementara, persentase penduduk miskin di rentang 3,55 persen hingga 3,92 persen dari total penduduk. Tren jumlah penduduk miskin naik turun, namun angkanya tidak naik atau turun tajam.

Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta melampaui 300 ribuan pada September 2014, tepatnya 412,79 ribu orang. Jumlah itu setara dengan 4,09 persen dari total penduduk, atau meninggalkan tingkat kemiskinan 3 persenan dalam tiga tahun ke belakang.

Namun, pada Maret 2015 jumlah penduduk miskin bisa ditekan 13,87 ribu atau turun 0,16 persen menjadi 398,92 ribu. Angka itu setara dengan 3,93 persen dari total penduduk DKI Jakarta.

Baca Juga :  Ridwan Kamil Belum Putuskan Akan Maju di Pilgub DKI Jakarta atau Jawa Barat

Berkurangnya jumlah penduduk miskin di ibu kota berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Jumlah penduduk miskin di ibu kota kembali pada rentang 368,67 ribu – 398,92 ribu orang sejak Maret 2015 hingga September 2018. Angka itu setara dengan 3,61 persen-3,93 persen dari total penduduk.

Pada 2019, merupakan periode dimana tingkat kemiskinan mencapai posisi terendah dalam sepuluh tahun terakhir. BPS mencatat jumlah penduduk miskin di ibu kota mencapai 365,55 ribu orang, atau 3,47 persen dari total penduduk. Enam bulan kemudian, jumlah penduduk miskin kembali berkurang menjadi 362,30 ribu orang, atau 3,42 persen.

Insert Data Kemiskinan DKI Jakarta 2011-2020Data Kemiskinan DKI Jakarta 2011-2020. (CNNIndonesia/Basith Subastian).
Sayangnya, setelah berhasil ditekan jumlah penduduk miskin di ibu kota kembali naik pada 2020 akibat Covid-19.

“Tingkat kemiskinan di DKI Jakarta stagnan saja. Penduduk miskin mereka umumnya tinggal di daerah pinggiran, slum area (daerah kumuh), kerja di sektor informal, dan pekerja pada sektor pekerjaan yang upahnya di bawah UMR,” jelasnya.

Ia menuturkan penyebab tingkat kemiskinan di DKI Jakarta cenderung stagnan adalah jenis penanganan kemiskinan yang sifatnya hanya menahan laju, belum mengurangi. Selama ini, pemerintah menggelontorkan bantuan sosial (bansos) pada penduduk miskin namun belum menciptakan lapangan kerja yang bisa membuat pekerja informal naik kelas menjadi pekerja formal.

“Kalau bansos penduduk miskin akan seperti itu terus, tidak menciptakan pendapatan. Akhirnya, mereka susah keluar dari garis kemiskinan,” jelasnya.

Selain itu, kemiskinan di DKI Jakarta bersifat struktural, atau disebabkan oleh keterbatasan akses pada pendidikan layak dan mata pencaharian tetap. Tak ayal, angka kemiskinan di DKI Jakarta cenderung stagnan namun sulit untuk ditekan secara signifikan.

“Penurunannya tidak bisa drastis karena sifat kemiskinannya struktural, sehingga pengentasan kemiskinan jauh lebih sulit. Bisa saja kemiskinan itu pada level kronis misalnya orang tua jompo, pendidikan rendah, penduduk daerah slum, tidak memiliki pekerjaan layak, dan sebagainya,” tuturnya.

Yusuf menambahkan jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta belum bisa ditekan secara signifikan karena kebijakan pengentasan kemiskinan masih terbatas dalam bentuk program dari pemerintah pusat. Misalnya, bansos sembako, Program Keluarga Harapan (PKH), dan sebagainya.

“Tapi, yang tidak boleh dilupakan kebijakan pemerintah pusat ini seharusnya dibarengi dengan pemberdayaan masyarakat sendiri, sehingga masyarakat punya pilihan untuk bisa menaikkan kemampuan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik,” katanya.

Tak hanya itu, kemiskinan di DKI Jakarta bertambah akibat arus urbanisasi. Yusuf menuturkan tidak semua penduduk yang mengadu nasib dari daerah ke DKI Jakarta memiliki kemampuan bertahan di ibu kota. Imbasnya, mereka justru terjebak dengan kemiskinan karena pendapatan yang tidak bisa mengimbangi mahalnya biaya hidup di ibu kota.

“Tentu kita tidak bisa menyalahkan masyarakat secara luas karena permasalahannya kompleks, artinya belum bicara mengenai pemerataan ekonomi di daerah, yang kemudian menjadi rumit. Tetapi kalau ditanya penyebab angka kemiskinan, salah satunya dipengaruhi oleh arus urbanisasi,” ujarnya.

Sumber :Cnn Indonesia

Artikulli paraprakHarga Emas Antam Naik di Posisi Rp932 Ribu
Artikulli tjetërDi Masa Pandemi, Pakai Double Masker Sangat Dianjurkan Oleh Dokter