Beranda Nasional Prosedural UU Cipta Kerja

Prosedural UU Cipta Kerja

Jakarta – Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang dilakukan oleh DPR bersama dengan pemerintah, Senin (5/10) diwarnai dengan pelbagai kondisi yang mengecewakan publik. Beberapa partai yang menolak untuk mengesahkan UU tersebut diganjar dengan pembatasan hak bicara oleh pimpinan sidang. Sehingga suara minor yang menyuarakan kegelisahan atas muatan isi bermasalah dalam UU Cipta Kerja berakhir sumbang.
Sejak awal, upaya pembahasan UU Cipta Kerja telah dihadang oleh teknis prosedural pembentukan peraturan perundang-undangan. Dimulai dengan niat untuk mengharmonikan sebelas kluster regulasi dari pelbagai undang-undang. Di antaranya yaitu penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, pengendalian lahan, kemudahan berusaha, serta ketenagakerjaan. Dalam hal ini, setidaknya terdapat tujuh puluh sembilan undang-undang dan berisi 1.244 pasal yang harus dilihat dan diidentifikasi satu per satu.

Banyaknya jumlah aturan yang harus diubah dan dibahas harusnya menjadi satu tantangan tersendiri bagi pembentuk undang-undang. Ditambah dengan menggunakan metode perubahan melalui omnibus law yang baru pertama kali coba untuk digunakan. Seharusnya dibutuhkan waktu yang lebih panjang untuk merumuskannya, karena undang-undang yang akan direvisi menyangkut hajat hidup orang banyak. Di antaranya yaitu aturan tentang ketenagakerjaan, kemudahan berusaha, penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, hingga kemudahan proyek pemerintah.

Setidaknya terdapat tiga permasalahan prosedural dalam perumusan UU Cipta Kerja. Pertama, menggunakan konsep perubahan undang-undang yang asing. Penerapan konsep omnibus law sebelumnya tidak dikenal dalam konsep ketatanegaraan Indonesia yang menerapkan karakteristik sistem Civil Law. Selama ini konsep omnibus law hanya diterapkan di negara-negara yang menganut sistem Common Law seperti Amerika Serikat.

Persoalan muncul pada saat eksperimen tata negara yang dilakukan malah menyalahi ketentuan hukum. Karena penyusunan RUU Cipta Kerja tidak berpedoman pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019. Karena dalam undang-undang tersebut tidak mengatur ketentuan tentang perubahan undang-undang menggunakan omnibus law.

Baca Juga :  Wanhay Ungkap Strategi Partai Golkar Kabupaten Bogor: Konsolidasi dan Koalisi Menuju Pilkada 2024

Hal tersebutlah yang membuat penyusunan hingga sistematika penulisan RUU Cipta Kerja menjadi centang-perenang sehingga sulit untuk dapat dipahami. Seharusnya sebelum memaksa untuk mengubah puluhan undang-undang sekaligus, langkah awal yang harus diambil adalah mengubah pedoman pembentukan aturan agar tidak terjadi kesalahan seperti ini. Kecuali undang-undang yang dilahirkan dalam senyap dan tergesa-gesa ini memiliki maksud lain.

Kedua, salah arah pembentukan RUU Cipta Kerja. Salah satu tujuan awal pembentukan RUU Cipta Kerja adalah untuk mengharmonikan sebelas kluster regulasi yang dianggap menghambat arus investasi di Indonesia. Sehingga pemerintah mengambil beberapa langkah strategis, yaitu dengan melakukan penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, pengendalian lahan, serta kemudahan berusaha.

Jika melihat tujuannya untuk melakukan harmonisasi terhadap peraturan perundang-undangan, langkah ini cukup efektif. Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), telah terjadi hiper-regulasi atau melonjaknya angka pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga eksekutif.

Dalam rentang 2014-2018, pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menerbitkan lebih dari delapan ribu peraturan yang diterbitkan oleh lembaga eksekutif. Aturan tersebut terdiri dari Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, hingga pada Peraturan Menteri.

Obesitas regulasi tersebut berakibat pada overlapping hingga tidak efektifnya pelaksanaan dari setiap aturan yang ada. Diduga menjadi alasan penyumbat aliran-aliran investasi di Indonesia. Setidaknya, begitulah pemerintah memandang permasalahan ini sehingga memilih jalan untuk menggunakan omnibus law. Sehingga langkah yang lebih ideal adalah menertibkan aturan-aturan yang berada di bawah kekuasaan eksekutif.

Ketiga, ruang korupsi legislasi dalam proses pembahasannya. Pada Tahun 1971, G.J. Stigler memperkenalkan sebuah konsep yang dikenal dengan regulatory capture. Secara sederhana, konsep ini mencoba untuk mengulik tujuan sebenarnya pemerintah atau badan parlemen membuat suatu undang-undang yang mengikat publik.

Baca Juga :  Larangan Prabowo Kepada Relawan Prabowo-Gibran Untuk Aksi Masa di Gedung Mahkamah Konstitusi

Ternyata pembentukan suatu undang-undang dapat dipengaruhi oleh kepentingan kelompok tertentu. Sehingga peraturan perundang-undangan yang seharusnya ditujukan bagi kepentingan dan kebutuhan masyarakat malah dimanfaatkan oleh sekelompok orang demi kepentingannya. Situasi seperti ini lah yang disebut dengan regulatory capture.

Salah satu ciri terjadinya hal tersebut adalah keterbatasan akses bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai proses pembentukan sebuah undang-undang. Informasi yang tidak berimbang antara masyarakat dengan sekelompok orang berkepentingan inilah yang tidak mengindahkan hak untuk memperoleh informasi bagi seluruh masyarakat.

Ciri di atas menjadi tak asing jika kita melihat proses pembentukan UU Cipta Kerja. Selain keterbatasan akses masyarakat untuk mendapatkan informasi pada saat pembentukan UU Cipta Kerja, mereka juga tidak dilibatkan pada tahap pembahasan.

Padahal Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah menegaskan bahwa sebuah rancangan undang-undang harus mudah diakses oleh masyarakat. Itu bertujuan agar membuka ruang yang luas untuk melakukan dialog dan menampung setiap masukan dari masyarakat. Namun dalam pembahasan UU Cipta Kerja, ruang dialog tersebut sengaja ditutup dengan rapat.

Melihat proses bermasalah yang terjadi dalam proses melahirkan UU Cipta Kerja, serta aksi protes yang telah dilakukan oleh pelbagai kelompok masyarakat –buruh, petani, mahasiswa, akademisi, serta berbagai kelompok masyarakat sipil lainnya– seharusnya menjadi alasan utama agar dapat membatalkan UU Cipta Kerja.

Aspirasi publik harus menjadi perihal pertama yang didengarkan oleh peramu kebijakan. Jika masih saja memaksakan diri mengesahkan sebuah UU yang berpotensi merenggut hak konstitusional masyarakat, sama saja dengan secara sadar mengkhianati nalar dan mencurangi rasa.

Hemi Lavour Febrinandez peneliti pada Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

Sumber:Detik

Artikulli paraprak18 Anggota DPR Positif Covid-19 Tapi Gedung Tak Ditutup?
Artikulli tjetërSatgas Berharap Aksi Unjuk Rasa Tidak Menjadi Klaster Baru Penularan Covid-19